BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Punakawan adalah tokoh-tokoh dalam
dunia pewayangan yang bentuknya aneh dan lucu, termasuk juga perwatakan dan
tingkah polahnya. Tokoh-tokoh punakawan ini tidak kita temui dalam kisah
Mahabharata asli atau versi mitologi Hindu. Konon, tokoh-tokoh ini diciptakan
oleh Sunan Kalijaga, sebagai salah satu media penyebaran Islam di tanah Jawa.
Semar, Careng, Petruk, dan Bagong
adalah tokoh punakawan yang akrab dengan masyarakat Jawa. Meskipun mereka hanya
seorang abdi atau pelayan dari para kesatria, tetapi mereka kerap muncul
menghadirkan solusi dalam me-mecahkan suatu masalah. Di balik karakternya yang
unik dan lucu, terdapat nasihat - nasihat bijak yang masih relevan bagi kita
yang, katanya, hidup di zaman "goro-goro" ini. Menarik untuk disimak dan
direnungkan.
Derasnya arus globalisasi menyebabkan
banyaknya kebudayaan yang menjadi kearifan lokal suatu daerah terkikis, bahkan
hilang. Punakawan sebagai kearifan lokal masyarakat pulau Jawa, hendaknya
dilestarikan, karena melalui tokoh – tokoh punakawan dalam wayang ini bisa
disampaikan nilai – nilai kebaikan dalam kehidupan. Peran serta masyarakat,
pemerintah, kaum intelektual, seniman sangat dibutuhkan dalam pelestarian kebudayaan atau kearifan lokal. Melalui penulisan buku ini “ Punakawan Sebagai Simbol
Kerendahan Hati Orang Jawa” menjadi salah satu agen dalam melestarikan kebudaan
atau kearifan lokal masyarakat Jawa.
1.2.
Rumusan masalah
Adapun
rumusan masalahnya sebagai berikut :
a. Bagaimanakah
perkembangan wayang di Indonesia ?
b. Bagaimana
wayang sebagai cermin kehidupan ?
c. Bagaimana
punakawan di mata orang jawa ?
d. Apa
makna di balik simbol punakawan ?
e. Bagaimana
kritikal terhadap buku punakawan simbol kerendahan hati orang jawa?
1.3.
Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan penulisan dalam makalah tersebut yaitu untuk mengetahui bagaimana
perkembangan wayang di Indonesia, bagaimana wayang sebagai cerminan kehidupan,
bagaimana punakawan di mata orang jawa, apa makna di balik simbol punakawan,
serta bagaimana kritikal terhadap buku punakawan simbol kerendahan hati orang
jawa
1.4.Manfaat
Penulisan
Adapun
manfaat dari penulisan makalah tersebut adalah untuk menambah wawasan dan
menerapkan nilai-nilai kearifan lokal punakawan dalam kehidupan sehari-hari
khususnya bagi masyarakat jawa, menjaga dan melestarikan kearifan lokal wayang,
serta sebagai bahan referensi bagi para peneliti lanjutan.
1.5.
Metode Penulisan
Adapun
metode penulisan makalah ini yakni dengan menggunakan metode ke-pustakaan
melalui buku dan jurnal.
1.6.
Sistematika Penulisan
Adapun
sistematika penulisan makalah tersebut yakni terdiri dari :
Bab
1 Pendahuluan
Bab
2 Pembahasan
Bab
3 Penutup
BAB II
PEMBAHASAN
Punakawan
Simbol Kerendahan Hati Orang Jawa
Penulis
: Ardian Kresna
Cetakan
: Pertama
Penerbit
: Penerbit Narasi ( Anggota
IKPI), Yogyakarta
Tahun
Terbit : 2012
Sumber
gambar : http://littlecultures.blogspot.com/2013/02/sejarah-wayang-kulit.html
Wayang
adalah salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol
diantara karya budaya lainnnya. Wayang merupakan salah satu kearipan lokal dari
daerah Pulau Jawa. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni
musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni
perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman,
juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman
filsafat, serta hiburan. Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan,
budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.
Keberadaan
wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Dalam
disertasinya berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (1897),
ahli sejarah kebudayaan Belanda Dr. GA.J. Hazeau menunjukkan keyakinannya bahwa
wayang merupakan pertunjukan asli Jawa. Pengertian wayang dalam disertasi Dr.
Hazeau itu adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat bayangannya
pada kelir. Mengenai asal-usul wayang ini, di dunia ada dua pendapat.
Pertama, pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa,
tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para
peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian
sarjana-sarjana Barat. pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang
dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah
Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. udaya wayang
diperkirakan sudah lahir di Indonesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu
Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu
sedang makmur-makmurnya. Pada awal abad ke-15, yakni zaman Kerajaan Demak,
mulai digunakan lampu minyak berbentuk khusus yang disebut blencong pada
pergelaran Wayang Kulit.
2.2.Wayang
Sebagai Cermin Kehidupan
Wayang tak
sekadar tontonan. Karakter dan sifat tokoh-tokoh wayang merupakan cermin
kehidupan manusia. Dalam wayang terdapat tokoh suci, jujur, baik hati,
bijaksana, lembut, namun ada pula yang kasar, curang, dan jahat. Setiap lakon
dalam wayang diisi dengan ungkapan yang mengandung pitutur atau nasihat hidup
serta kekayaan falsafah Jawa. Pitutur tersebut biasa diucapkan oleh tokoh para
dewa, raja, resi, pendeta, para sepuh, atau oleh dalangnya sendiri. Secara
tidak langsung para pelaku, pemirsa, pendengar, atau pemerhati wayang yang
mengamati lakon, akan mengetahui falsafah hidup orang Jawa yang menciptakan
budi pekerti luhur, seperti tata krama, kepatuhan, etos kerja, rasa syukur, dan
berbagai kebaikan lainnya. Ajaran dalam wayang pun disampaikan secara santun.
Peperangan antara satria dan raksasa, baik dua sosok atau lebih tidak pernah
menyebabkan timbulnya luka atau semburan darah. Ajaran tentang strata sosial
tidak merendahkan golongan tertentu.
2.3.Punakawan
di Mata Orang Jawa
“Puna”
atau “pana” dalam terminologi Jawa artinya memahami, terang, jelas,
cermat, mengerti, cerdik dalam mencermati atau mengamati makna hakekat di balik
kejadian-peristiwa alam dan kejadian dalam kehidupan manusia. Sedangkan kawan
berarti pula pamong atau teman. Jadi punakawan mempunyai
makna yang menggambarkan seseorang yang menjadi teman, yang mempunyai kemampuan
mencermati, menganalisa, dan mencerna segala fenomena dan kejadian alam serta
peristiwa dalam kehidupan manusia.
Para
tokoh punakawan memiliki karakter yang memiliki karakter yang unik, menarik
karena mewakili simbol kerendahan hati dan penebar hikmah. Sosok Gareng digambarkan berfikir lebih cerdas, besikap
hati-hati, tetapi sulit menggambarkan sesuatu melalui kata-kata yang akan
diucapkan dari mulutnya sendiri. Petruk cenderung asal bicara tetatpi
sebenarnya sedikit bodoh dan lugu. Bagong sosok manusia berwatak lugu yang apa
adanya, sederhana, memiliki ketabahan hati yang luar biasa. Semar atau Batara
Ismaya merupakan simbol atas manusia dengan kedalaman ilmu dan kearifan jiwa
yang luar biasa.
2.4.Makna
di Balik Simbol Punakawan
1.
Ki Lurah Semar (simbol ketentraman dan keselamatan
hidup)
Membahas Semar tentunya akan panjang
lebar seperti tak ada titik akhirnya. Semar sebagai simbol bapa manusia Jawa.
Bahkan dalam kitab jangka Jayabaya, Semar digunakan untuk menunjuk penasehat
Raja-raja di tanah Jawa yang telah hidup lebih dari 2500 tahun. Dalam hal ini
Ki Lurah Semar tiada lain adalah Ki Sabdapalon dan Ki Nayagenggong, dua saudara
kembar penasehat spiritual Raja-raja. Sosoknya sangat misterius, seolah antara
nyata dan tidak nyata, tapi jika melihat tanda-tandanya orang yang menyangkal
akan menjadi ragu. Ki Lurah Semar dalam konteks Sabdapalon dan Nayagenggong
merupakan bapa atau Dahyang-nya manusia Jawa.
Menurut jangka Jayabaya kelak saudara
kembar tersebut akan hadir kembali setelah 500 tahun sejak jatuhnya Majapahit
untuk memberi pelajaran kepada momongannya manusia Jawa (nusantara). Jika
dihitung kedatangannya kembali, yakni berkisar antara tahun 2005 hingga 2011.
Maka bagi para satria momongannya Ki Lurah Semar ibarat menjadi jimat;
mung siji tur dirumat. Selain menjadi penasehat, punakawan
akan menjadi penolong dan juru selamat/pelindung tatkala para satria momongannya
dalam keadaan bahaya.
Dalam cerita pewayangan Ki Lurah
Semar jumeneng sebagai seorang Begawan, namun ia sekaligus sebagai
simbol rakyat jelata. Maka Ki Lurah Semar juga dijuluki manusia setengah dewa. Dalam perspektif spiritual, Ki Lurah
Semar mewakili watak yang sederhana, tenang, rendah hati, tulus, tidak munafik,
tidak pernah terlalu sedih dan tidak pernah tertawa terlalu riang. Keadaan
mentalnya sangat matang, tidak kagetan dan tidak gumunan. Ki
Lurah Semar bagaikan air tenang yang menghanyutkan, di balik ketenangan
sikapnya tersimpan kejeniusan, ketajaman batin, kaya pengalaman
hidup dan ilmu pengetahuan. Ki Lurah Semar menggambarkan figur yang sabar,
tulus, pengasih, pemelihara kebaikan, penjaga kebenaran dan menghindari
perbuatan dur-angkara. Ki Lurah Semar juga dijuluki Badranaya, artinya badra adalah
rembulan, naya wajah. Atau Nayantaka, naya
adalah wajah, taka : pucat. Keduanya berarti menyimbolkan bahwa Semar
memiliki watak rembulan (lihat thread: Pusaka Hasta Brata). Dan seorang
figur yang memiliki wajah pucat, artinya Semar tidak mengumbar hawa nafsu. Semareka
den prayitna: semare
artinya menidurkan diri, agar supaya batinnya selalu awas. Maka yang ditidurkan
adalah panca inderanya dari gejolak api atau nafsu negatif. Inilah nilai di
balik kalimat wani mati sajroning urip (berani mati di dalam hidup).
Perbuatannya selalu netepi kodrat Hyang Widhi (pasrah), dengan cara
mematikan hawa nafsu negatif. Sikap demikian akan diartikulasikan ke dalam
sikap watak wantun kita sehari-hari dalam pergaulan, “pucat’ dingin
tidak mudah emosi, tenang dan berwibawa, tidak gusar dan gentar jika dicaci-maki,
tidak lupa diri jika dipuji, sebagaimana watak Badranaya atau wajah
rembulan.
Dalam khasanah spiritual Jawa,
khususnya mengenai konsep manunggaling kawula Gusti, Ki Lurah Semar
dapat menjadi personifikasi hakekat guru sejati setiap manusia. Semar
adalah samar-samar, sebagai perlambang guru sejati atau sukma sejati
wujudnya samar bukan wujud nyata atau wadag, dan tak kasad mata. Sedangkan
Pendawa Lima adalah personifikasi jasad/badan yang di dalamnya terdapat panca
indera. Karena sifat jasad/badan cenderung lengah dan lemah, maka sebaik apapun
jasad seorang satria, tetap saja harus diasuh dan diawasi oleh sang guru
sejati agar senantiasa eling dan waspadha. Agar supaya
jasad/badan memiliki keteguhan pada ajaran kebaikan sang guru sejati.
Guru sejati merupakan pengendali seseorang agar tetap dalam “laku” yang tepat, pener
dan berada pada koridor bebener. Siapa yang ditinggalkan oleh pamomong
Ki Lurah Semar beserta Gareng, Petruk, Bagong, ia akan celaka, jika satria maka
di negerinya akan mendapatkan banyak malapetaka seperti : musibah, bencana,
wabah penyakit (pageblug), paceklik. Semua itu sebagai bebendu karena
manusia (satria) yang ditinggalkan guru sejati-nya telah keluar dari
jalur bebener.
Jika ditinjau dari perspektif politik, kelompok Punakawan
Ki Lurah Semar dan anak-anaknya Gareng, Petruk, Bagong sebagai lambang dari
lembaga aspirasi rakyat yang mengemban amanat penderitaan rakyat. Atau semacam
lembaga legislatif. Sehingga kelompok punakawan ini bertugas sebagai penyambung
lidah rakyat, melakukan kritikan, nasehat, dan usulan. Berkewajiban sebagai
pengontrol, pengawas, pembimbing jalannya pemerintahan di bawah para Satria
asuhannya yakni Pendhawa Lima sebagai lambang badan eksekutif atau lembaga
pemerintah. Dengan gambaran ini, sebenarnya dalam tradisi Jawa sejak masa
lampau telah dikenal sistem politik yang demokratis.
2.
Nala Gareng
Nala adalah
hati, Gareng (garing) berarti kering, atau gering, yang berarti
menderita. Nala Gareng berarti hati yang menderita. Maknanya adalah perlambang
“laku” prihatin. Namun Nala Gareng diterjemahkan pula sebagai kebulatan tekad.
Dalam serat Wedhatama disebutkan gumeleng agolong-gilig. Merupakan suatu
tekad bulat yang selalu mengarahkan setiap perbuatannya bukan untuk pamrih
apapun, melainkan hanya untuk netepi kodrat Hyang Manon. Nala Gareng
menjadi simbol duka-cita, kesedihan, nelangsa. Sebagaimana yang tampak dalam
wujud fisik Nala Gareng merupakan sekumpulan simbol yang menyiratkan makna sbb:
§ Mata Juling:
Mata sebelah kiri mengarah keatas dan
ke samping. Maknanya Nala Gareng selalu memusatkan batinnya kepada Hyang Widhi.
§ Lengan
Bengkok atau cekot/ceko :
Melambangkan bahwasannya manusia tak
akan bisa berbuat apa-apa bila tidak berada pada kodrat atau kehendak Hayng
Widhi.
§ Kaki
Pincang, jika berjalan sambil jinjit :
Artinya Nala Gareng merupakan manusia
yang sangat berhati-hati dalam melangkah atau dalam mengambil keputusan.
Keadaan fisik nala Gareng yang tidak sempurna ini mengingatkan bahwa manusia
harus bersikap awas dan hati-hati dalam menjalani kehidupan ini karena sadar
akan sifat dasar manusia yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan.
§ Mulut Gareng :
Mulut gareng berbentuk aneh dan lucu,
melambangkan ia tidak pandai bicara, kadang bicaranya sasar-susur
(belepotan) tak karuan. Bicara dan sikapnya serba salah, karena tidak merasa
percaya diri. Namun demikian Nala Gareng banyak memiliki teman, baik di pihak
kawan maupun lawan. Inilah kelebihan Nala Gareng, yang menjadi sangat
bermanfaat dalam urusan negosiasi dan mencari relasi, sehingga Nala Gareng
sering berperan sebagai juru damai, dan sebagai pembuka jalan untuk negosiasi.
Justru dengan banyaknya kekurangan pada dirinya tersebut, Nala Gareng sering
terhindar dari celaka dan marabahaya.
3.
Petruk Kanthong Bolong
Ki Lurah Petruk adalah putra dari
Gandarwa Raja yang diambil anak oleh Ki Lurah Semar. Petruk memiliki nama
alias, yakni Dawala. Dawa artinya panjang, la, artinya ala
atau jelek. Sudah panjang, tampilan fisiknya jelek. Hidung, telinga, mulut,
kaki, dan tangannya panjang. Namun jangan gegabah menilai, karena Lurah Petruk
adalah jalma tan kena kinira, biar jelek secara fisik tetapi ia sosok
yang tidak bisa diduga-kira. Gambaran ini merupakan pralambang akan tabiat Ki
Lurah Petruk yang panjang pikirannya, artinya Petruk tidak grusah-grusuh
(gegabah) dalam bertindak, ia akan menghitung secara cermat untung rugi, atau
resiko akan suatu rencana dan perbuatan yang akan dilakukan. Petruk Kanthong Bolong,
menggambarkan bahwa Petruk memiliki kesabaran yang sangat luas, hatinya bak
samodra, hatinya longgar, plong dan perasaannya bolong tidak ada
yang disembunyikan, tidak suka menggerutu dan ngedumel.
Dawala, juga
menggambarkan adanya pertalian batin antara para leluhurnya di kahyangan
(alam kelanggengan) dengan anak turunnya, yakni Lurah Petruk yang masih hidup
di mercapada. Lurah Petruk selalu mendapatkan bimbingan dan tuntunan
dari para leluhurnya, sehingga Lurah Petruk memiliki kewaskitaan mumpuni dan
mampu menjadi abdi dalem (pembantu) sekaligus penasehat para kesatria.
Petruk Kanthong Bolong wajahnya
selalu tersenyum, bahkan pada saat sedang berduka pun selalu menampakkan wajah
yang ramah dan murah senyum dengan penuh ketulusan. Petruk mampu menyembunyikan
kesedihannya sendiri di hadapan para kesatria bendharanya. Sehingga
kehadiran petruk benar-benar membangkitkan semangat dan kebahagiaan tersendiri
di tengah kesedihan. Prinsip “laku” hidup Ki Lurah Petruk adalah kebenaran,
kejujuran dan kepolosan dalam menjalani kehidupan. Bersama semua anggota Punakawan,
Lurah Petruk membantu para
kesatria Pandhawa Lima (terutama
Raden Arjuna) dalam perjuangannya menegakkan kebenaran dan keadilan.
4.
Bagong
Bagong adalah anak ketiga Ki Lurah
Semar. Secara filosofi Bagong adalah bayangan Semar. Sewaktu Semar mendapatkan
tugas mulia dari Hyang Manon, untuk mengasuh para kesatria yang baik, Semar
memohon didampingi seorang teman. Permohonan Semar dikabulkan Hyang Maha
Tunggal, dan ternyata seorang teman tersebut diambil dari bayangan Semar
sendiri. Setelah bayangan Semar menjadi manusia berkulit hitam seperti rupa
bayangan Semar, maka diberi nama Bagong. Sebagaimana Semar, bayangan Semar
tersebut sebagai manusia berwatak lugu dan teramat sederhana, namun memiliki
ketabahan hati yang luar biasa. Ia tahan menanggung malu, dirundung sedih, dan
tidak mudah kaget serta heran jika menghadapi situasi yang genting maupun
menyenangkan. Penampilan dan lagak Lurah Bagong seperti orang dungu.
Meskipun demikian Bagong adalah sosok
yang tangguh, selalu beruntung dan disayang tuan-tuannya. Maka Bagong termasuk
punakawan yang dihormati, dipercaya dan mendapat tempat di hati para kesatria.
Istilahnya bagong diposisikan sebagai bala tengen, atau pasukan kanan,
yakni berada dalam jalur kebenaran dan selalu disayang majikan dan Tuhan.
Dalam pagelaran wayang kulit,
kelompok punakawan Semar, Gareng, Petruk, Bagong selalu mendapatkan
tempat di hati para pemirsa. Punakawan tampil pada puncak acara yang
ditunggu-tunggu pemirsa yakni goro-goro, yang menampilkan berbagai
adegan dagelan, anekdot, satire, penuh tawa yang berguna sebagai sarana kritik
membangun sambil bercengkerama (guyon parikena). Punakawan menyampaikan
kritik, saran, nasehat, maupun menghibur para kesatria yang menjadi asuhan
sekaligus majikannya. Suara punakawan adalah suara rakyat jelata sebagai amanat
penderitaan rakyat, sekaligus sebagai “suara” Tuhan menyampaikan kebenaran,
pandangan dan prinsip hidup yang polos, lugu namun terkadang menampilkan
falsafah yang tampak sepele namun memiliki esensi yang sangat luhur. Itulah
sepak “terjang punakawan” bala tengen yang suara hatinuraninya selalu
didengar dan dipatuhi oleh para kesatria asuhan sekaligus majikannya.
2.5 Punakawan Kontroversial
Dalam cerita wayang sebagaimana
kisah-kisah dalam legenda lainnya, terdapat kelompok antagonis. Dalam cerita
wayang tokoh-tokoh antagonis berasal dari negri seberang atau Sabrangan.
Punakawan Togog atau Tejamantri, Sarawita dan Mbilung merupakan punakawan
kontroversif yang selalu membimbing tokoh pembesar antagonis, para “ksatria”
angkara murka (dur angkara), hingga para pimpinan raksasa jahat. Sebut
saja misalnya Prabu Dasamuka, Prabu Niwatakawaca, Prabu Susarma, hingga para
kesatria dur angkara dari Mandura seperti Raden Kangsa dan seterusnya.
Pada intinya Ki Lurah Togog dkk selalu berada di pihak tokoh antagonis,
sehingga disebut sebagai bala kiwa. Namun demikian bukan berarti
kelompok punakawan ini memiliki karakter buruk.
Ciri fisik Togog dkk memiliki mulut
yang lebar. Artinya mereka selalu berkoar menyuarakan kebaikan, peringatan
(pepeling) kepada majikannya agar tetap waspada dan eling,
menjadi manusia jangan berlebihan. Ngono ya ngono ning aja ngono.
Manusia harus mengerti batas-batas perikemanusiaan. Sekalipun akan mengalahkan
lawan atau musuhnya tetap harus berpegang pada etika seorang kesatria yang
harus gentle, tidak pengecut, dan tidak memenangkan perkelahian dengan
jalan yang licik.
Sekalipun menang tidak boleh menghina
dan mempermalukan lawannya (menang tanpa ngasorake). Itulah ajaran Ki
Lurah Togog dkk yang sering kali diminta nasehat dan saran oleh para
majikannya. Namun toh akhirnya setiap nasehat, saran, masukan, aspirasi yang
disampaikan Ki Lurah Togog dkk tetap saja tidak pernah digubris oleh majikannya
mereka tetap setia. Ki Lurah Togog dkk walaupun menjabat posisi sentral
sebagai penasehat, pengasuh dan pembimbing, yang selalu bermulut lantang
menyuarakan pepeling, seolah peran mereka hanya sebagai obyek pelengkap
penderita. Walaupun Ki Lurah Togog dkk selalu gagal mengasuh majikannya para
kesatria dur angkara, hingga sering berpindah majikan untuk bersuara
lantang mencegah kejahatan. Bukan berarti mereka tidak setia. Sebaliknya dalam hal kesetiaan sebagai kelompok
penegak
kebenaran, Ki Lurah togog patut menjadi teladan baik. Karena sekalipun sering
dimaki, dibentak dan terkena amarah majikannya, Ki Lurah Togog dkk tidak mau
berkhianat.
Sekalipun selalu gagal memberi kritik
dan saran kepada majikannya, mereka tetap teguh dalam perjuangan menegakkan
keadilan. Dan lagi-lagi, mereka selalu dimintai saran dan kritikan, namun
serta-merta diingkari pula oleh majikan-majikan barunya. Itulah nasib Togog
dkk, yang mengisyaratkan nasib rakyat kecil yang selalu mengutarakan aspirasi
dan amanat penderitaan rakyat namun tidak memiliki bargaining power.
Ibarat menyirami gurun, seberapapun nasehat dan kritikan telah disiramkan di
hati para “pemimpin” dur angkara, tak akan pernah membekas dalam watak
para majikannya. Barangkali nasib kelompok punakawan Ki Lurah Togog dkk mirip
dengan apa yang kini dialami oleh rakyat Indonesia. Suara hati nurani rakyat
sulit mendapat tempat di hati para tokoh dan pejabat hing nusantara
nagri. Sekalipun sekian banyak pelajaran berharga di depan mata, namun
manifestasi perbuatan dan kebijakan politiknya tetap saja kurang populer untuk
memihak rakyat kecil
2.6 Punakawan Perempuan
§ Cangik adalah
seorang pelayan wanita pelawak kesayangan para penonton biasanya mengiringi
kehadiran Sumbadra atau putri kelas atas lainnya. Meskipun perawakannya kurus,
dadanya mengerut, dan penampilannya aneh, dia sangat mudah tersipu-sipu dan
genit, dengan sisir yang selalu ia bawa sebagai buktinya. Suaranya tinggi,
melengking dan seperti bersiul, karena dia tidak mempunyai gigi.
§ Limbuk adalah anak
perempuan Cangik, juga seorang abdi perempuan yang konyol. Meskipun
penampilannya sangat berbeda dengan ibunya, dia mempunyai rasa keyakinan yang
sama akan daya tariknya yang tinggi. Dia juga membawa sebuah sisir dengannya ke
mana-mana. Suaranya keras, rendah, dan menyentuh secara janggal.
§ Emban adalah seorang pengasuh di lingkungan istana bagi keluarga bangsawan,
disebut juga sebagai wong cilik. Emban adalah pekerjaan yang sufat dan
fungsinya sebagai pengasuh, penghibur, sekaligus penjaga keselamatan
putra-putri raja sejak kanak-anak.
2.7 Kritikal Buku
a. Jurnal Pertama
Punakawan
|
1. Punakawan adalah karakter yang khas dalam wayang Indonesia. Mereka melambangkan orang kebanyakan. Karakternya mengindikasikan bermacam-macam peran, seperti penasihat para ksatria, penghibur, kritisi sosial, badut bahkan sumber kebenaran dan kebijakan. Dalam wayang Jawa karakter punakawan terdiri atas Semar, Gareng, Bagong, dan Petruk. Dalam wayang Bali karakter punakawan terdiri atas Malen dan Merdah (abdi dari Pandawa) dan Delem dan Sangut (abdi dari Kurawa) 1. Punakawan is a unique type of character in Indonesian shadow theatre. They generally represent the commoners. The characters of Punakawan indicate various roles, such as the warrior advisors, the entertainers, social critics, and clowns, a further source of truth and wisdom. In Javanese wayang, the punakawan characters consist of Semar, Gareng, Bagong, and Petruk. In Balinese wayang in the other hand, the character consist of Malen and Merdah (the maids of Pandawa) and Delem and Sangut (the maids of Kurawa) |
2. Semar adalah
pengasuh dari Pendawa. Alkisah, ia juga bernama Hyang Ismaya. Mekipun ia berwujud
manusia jelek, ia memiliki kesaktian yang sangat tinggi bahkan melebihi para
dewa.
3. Gareng adalah anak
Semar yang berarti pujaan atau didapatkan dengan memuja. Nalagareng adalah
seorang yang tak pandai bicara, apa yang dikatakannya kadang- kadang serba
salah. Tetapi ia sangat lucu dan menggelikan.
Ia pernah menjadi raja di Paranggumiwang dan bernama Pandubergola. Ia
diangkat sebagi raja atas nama Dewi Sumbadra. Ia sangat sakti dan hanya bisa
dikalahkan oleh Petruk.
4. Bagong berarti
bayangan Semar. Alkisah ketika diturunkan ke dunia, Dewa bersabda pada Semar
bahwa bayangannyalah yang akan menjadi temannya. Seketika itu juga
bayangannya berubah wujud menjadi Bagong. Bagong itu memiliki sifat lancang
dan suka berlagak bodoh. Ia juga sangat lucu.
5. Petruk anak
Semar yang bermuka manis dengan senyuman yang menarik hati, panda berbicara,
dan juga sangat lucu. Ia suka menyindir ketidakbenaran dengan
lawakan-lawakannya. Petruk pernah
menjadi raja di negeri Ngrancang Kencana dan bernama Helgeduelbek. Dikisahkan
ia melarikan ajimat Kalimasada. Tak ada yang dapat mengalahkannya selain
Gareng.
|
|
2. Semar is the
care-giver of Pandawa. His name is also Hyang Ismaya. Even though his
appearance is so ugly, he has a supernatural ability that is greater than the
gods'.
3. Gareng is one of
Semar's sons which means he is revered. Nalagareng cannot speak
well; furthermore, whatever he says can be totally wrong. However, he is a
very funny and hilarious man. He has been a king of Paranggumiwang and has a
name Pandubergola. He was elected to be a king in the name of Dewi Sumbadra.
He is so powerful and can only be defeated by Petruk.
4. Bagong means shadow of Semar. When Semar was sent to the earth, the gods stated that his shadow became his friend. Suddenly, his shadow was transformed to be Bagong. Bagong has unique personality: he is assertive and like to pretend to be stupid. He is also so funny. 5. Petruk is Semar's son with the sweet face and smile. He is a smart speaker and a funny man. He likes to ridicule atrocity with his comedy. Petruk has been a king at the state of Ngrancang Kencana and is named Helgeduelbek. In one story, he took the Kalimasada amulet. Nobody can defeat him except Gareng. |
b. Jurnal Kedua
Sumber:
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CCUQFjAA&url=http%3A%2F%2Fejournal.undiksha.ac.id%2Findex.php%2FJJPSP%2Farticle%2Fdownload%2F2110%2F1842&ei=NUcsU77lOcGkrQeC04HADA&usg=AFQjCNGUBbtT6C4JAt3B-SvdLWUJDucPyQ&bvm=bv.63316862,d.bmk
c. Perbandingan Buku dengan Jurnal
Perbandingan buku “Punakawan
Simbol Kerendahan Hati Orang Jawa” karangan Ardian Kresna dengan jurnal pertama
yaitu :dalam buku Kresna tokoh punakawan Semar, Gareng, Bagong Petruk
digambarkan dengan sangat rinci beserta karakter keempat tokoh tersebut
sedangkan dalam jurnal hanya sekilas saja. Jika dibandingkan dengan jurnal
kedua tokoh punakawan dalam buku jumlahnya ada empat yaitu Semar, Gareng,
Bagong Petruk sedangkan dalam jurnal ada dua yaitu Cenk dan Blonk.
Selain itu karakter tokoh
punakawan dalam buku sangat bertolak belakang dengan tokoh yang di jurnal. Para
tokoh punakawan memiliki karakter yang memiliki karakter yang unik, menarik
karena mewakili simbol kerendahan hati dan penebar hikmah. Sosok Gareng digambarkan berfikir lebih cerdas, besikap
hati-hati, tetapi sulit menggambarkan sesuatu melalui kata-kata yang akan
diucapkan dari mulutnya sendiri. Petruk cenderung asal bicara tetatpi
sebenarnya sedikit bodoh dan lugu. Bagong sosok manusia berwatak lugu yang apa
adanya, sederhana, memiliki ketabahan hati yang luar biasa. Semar atau Batara
Ismaya merupakan simbol atas manusia dengan kedalaman ilmu dan kearifan jiwa
yang luar biasa.
Sedangkan
tokoh punkawan dalam jurnal di gambarkan memakai alat penyambung sengki
tanduk di bagian lengan, mulut dan kaki, mengunakan pecuntil, katik
badan dan katik tangan, ciri-ciri dari punakawan Cenk yaitu bentuk mulut
monyong, kedua rahang atas dan bawah dapat digerakkan, giginya banyak dan gaya
bicara punakawan Cenk cenderung teoritis, sifat punakawan Cenk adalah suka
mencela dan mengkritik punakawan lain dan tidak mudah dikalahkan. ciri-ciri
dari punakawan Blonk yaitu bentuk mulut lebar, kepala botak, perut besar. Gaya
bicara punakawan Blonk ceplas-ceplos. Sifat punakawan Blonk adalah suka
menceritakan dirinya.
d.
Keunggulan
dan kelemahan Buku
§ Adapun
keunggulan buku ini yaitu cerita wayang dijelaskan sejak kemunculannya di
Indonesia beserta perkembangannya. Tokoh punakawan merupakan bahasan utama
dalam buku ini, dari awal sampai akhir diceritakan punakwan simbol kerendahan
hati orang Jawa. Karakter tokoh punakawan Semar, Gareng, Bagong Petruk
digambarkan dengan jelas, dan sangat sering diungkapkan dalam pembahasan
lainnya. Buku ini sudah membahas punakawan secara holistik dan mendalam.
§ Adapun
Kelemahan buku ini tidak terlalu banyak atau bahkan sulit di temukan namunyang
menjadi kelemahan buku ini yaitu punakawan sebagai simbol kerendahan hati orang
jawa tidak dijelaskan penerapannya dalam atau implementasinya dalam masyarakat
sekarang terutama bagi masyarakat Jawa.
§ Selain
itu tokoh punakawan ini dijelaskan dalam setiap judul pembahasan namun
menggunakan penjelasan yang sama dari awal sampai akhir yaitu “sosok
Gareng digambarkan berfikir lebih
cerdas, besikap hati-hati, tetapi sulit menggambarkan sesuatu melalui kata-kata
yang akan diucapkan dari mulutnya sendiri. Petruk cenderung asal bicara tetatpi
sebenarnya sedikit bodoh dan lugu. Bagong sosok manusia berwatak lugu yang apa
adanya, sederhana, memiliki ketabahan hati yang luar biasa. Semar atau Batara
Ismaya merupakan simbol atas manusia dengan kedalaman ilmu dan kearifan jiwa
yang luar biasa”. Seharusnya buku ini menggambarkan tokohnya dengan gambar –
gambar wayangnnya dan kalimat penjelasan tentang karakter wayang tidak sama
dengan kalimat sebelumnya, seperti kalimat diatas
BAB III
PRNUTUP
3.1.
Kesimpulan
Punakawan
merupakan tokoh-tokoh dalam dunia pewayangan yang bentuknya aneh dan lucu,
tokoh-tok tersebut yaitu Semar, Gareng, Petruk, Bagong, yang akrab dengan
masyarakat jawa. Punakawan ini menggambarkan atau menjadi simbol kerendahan
hati orang Jawa karena keempat tokoh ini memilik karakter yang unik, lucu,
santun, rendah hati. Punakawan ini sebagai kearifan lokal telah menjadi media
komunikasi dalam penyampaian pesan-pesan atau nasihat kepada masyarakat
terutama bagi orang Jawa.
3.2.
Saran
Penulis
menyarankan bagi pemerintah untuk ikut serta dalam melestarikan kearifan lokal
terutama pewayangan. Bagi masyarakat agar lebih menjaga dan melestarikan kearifan
lokal yang ada di daerahnya dengan mewariskannya dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Bagi kaum intelektual agar tetap berkarya dalam penulisan karya
ilmiah yang berhubungan dengan kearifan lokal terutama Punakawan yang menjadi
simbol kerendahan hati orang Jawa.
DAFTAR
PUSTAKA
Kresna, Ardian, 2012, Punakawan Simbol Kerendahan Hati Orang Jawa,
Narasi :Yogyakarta
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CCUQFjAA&url=http%3A%2F%2Fejournal.undiksha.ac.id%2Findex.php%2FJJPSP%2Farticle%2Fdownload%2F2110%2F1842&ei=NUcsU77lOcGkrQeC04HADA&usg=AFQjCNGUBbtT6C4JAt3B-SvdLWUJDucPyQ&bvm=bv.63316862,d.bmk