Rabu, 05 November 2014

Indonesia Kaya Budaya



BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
            Punakawan adalah tokoh-tokoh dalam dunia pewayangan yang bentuknya aneh dan lucu, termasuk juga perwatakan dan tingkah polahnya. Tokoh-tokoh punakawan ini tidak kita temui dalam kisah Mahabharata asli atau versi mitologi Hindu. Konon, tokoh-tokoh ini diciptakan oleh Sunan Kalijaga, sebagai salah satu media penyebaran Islam di tanah Jawa.
            Semar, Careng, Petruk, dan Bagong adalah tokoh punakawan yang akrab dengan masyarakat Jawa. Meskipun mereka hanya seorang abdi atau pelayan dari para kesatria, tetapi mereka kerap muncul menghadirkan solusi dalam me-mecahkan suatu masalah. Di balik karakternya yang unik dan lucu, terdapat nasihat - nasihat bijak yang masih relevan bagi kita yang, katanya, hidup di zaman "goro-goro" ini. Menarik untuk disimak dan direnungkan.
            Derasnya arus globalisasi menyebabkan banyaknya kebudayaan yang menjadi kearifan lokal suatu daerah terkikis, bahkan hilang. Punakawan sebagai kearifan lokal masyarakat pulau Jawa, hendaknya dilestarikan, karena melalui tokoh – tokoh punakawan dalam wayang ini bisa disampaikan nilai – nilai kebaikan dalam kehidupan. Peran serta masyarakat, pemerintah, kaum intelektual, seniman sangat dibutuhkan dalam pelestarian  kebudayaan atau kearifan lokal. Melalui  penulisan buku ini “ Punakawan Sebagai Simbol Kerendahan Hati Orang Jawa” menjadi salah satu agen dalam melestarikan kebudaan atau kearifan lokal masyarakat Jawa.
1.2. Rumusan masalah
Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut :
a.       Bagaimanakah perkembangan wayang di Indonesia ?
b.      Bagaimana wayang sebagai cermin kehidupan ?
c.       Bagaimana punakawan di mata orang jawa ?
d.      Apa makna di balik simbol punakawan ?
e.       Bagaimana kritikal terhadap buku punakawan simbol kerendahan hati orang jawa?
1.3. Tujuan Penulisan
            Adapun tujuan penulisan dalam makalah tersebut yaitu untuk mengetahui bagaimana perkembangan wayang di Indonesia, bagaimana wayang sebagai cerminan kehidupan, bagaimana punakawan di mata orang jawa, apa makna di balik simbol punakawan, serta bagaimana kritikal terhadap buku punakawan simbol kerendahan hati orang jawa

1.4.Manfaat Penulisan
            Adapun manfaat dari penulisan makalah tersebut adalah untuk menambah wawasan dan menerapkan nilai-nilai kearifan lokal punakawan dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi masyarakat jawa, menjaga dan melestarikan kearifan lokal wayang, serta sebagai bahan referensi bagi para peneliti lanjutan.
1.5. Metode Penulisan
            Adapun metode penulisan makalah ini yakni dengan menggunakan metode ke-pustakaan melalui buku dan jurnal.
1.6. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan makalah tersebut yakni terdiri dari :
Bab 1         Pendahuluan
Bab 2         Pembahasan
Bab 3         Penutup











BAB II
PEMBAHASAN
Punakawan
Simbol Kerendahan Hati Orang Jawa
http://gramedia.com/image/cache/data/prod_images/202004999_xl-152x152.jpg
Penulis             : Ardian Kresna
Cetakan           : Pertama
Penerbit           : Penerbit Narasi ( Anggota IKPI), Yogyakarta
Tahun Terbit    : 2012
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjX57lGFpeUogT-Od3Fan1gdQXzFC_GJeG9Edz1TUS5b2hJseVjaHpMHyp4orGtg_MWC9rMF_-z97kMm62byy_xDEnzKr06255cxtXi0wcTRep7yh9zbk0VuCtPpcd8RgaD6kIsaqjmN8PA/s1600/index.jpg
Sumber gambar : http://littlecultures.blogspot.com/2013/02/sejarah-wayang-kulit.html
Wayang adalah salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol diantara karya budaya lainnnya. Wayang merupakan salah satu kearipan lokal dari daerah Pulau Jawa. Budaya wayang meliputi seni peran, seni  suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni  perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan. Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.
Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Dalam disertasinya berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda Dr. GA.J. Hazeau menunjukkan keyakinannya bahwa wayang merupakan pertunjukan asli Jawa. Pengertian wayang dalam disertasi Dr. Hazeau itu adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat bayangannya pada kelir.  Mengenai asal-usul wayang ini, di dunia ada dua pendapat. Pertama, pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. udaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indo­nesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmur­nya. Pada awal abad ke-15, yakni zaman Kerajaan Demak, mulai digunakan lampu minyak berbentuk khusus yang disebut blencong pada pergelaran Wayang Kulit.
2.2.Wayang Sebagai Cermin Kehidupan
Wayang tak sekadar tontonan. Karakter dan sifat tokoh-tokoh wayang merupakan cermin kehidupan manusia. Dalam wayang terdapat tokoh suci, jujur, baik hati, bijaksana, lembut, namun ada pula yang kasar, curang, dan jahat. Setiap lakon dalam wayang diisi dengan ungkapan yang mengandung pitutur atau nasihat hidup serta kekayaan falsafah Jawa. Pitutur tersebut biasa diucapkan oleh tokoh para dewa, raja, resi, pendeta, para sepuh, atau oleh dalangnya sendiri. Secara tidak langsung para pelaku, pemirsa, pendengar, atau pemerhati wayang yang mengamati lakon, akan mengetahui falsafah hidup orang Jawa yang menciptakan budi pekerti luhur, seperti tata krama, kepatuhan, etos kerja, rasa syukur, dan berbagai kebaikan lainnya. Ajaran dalam wayang pun disampaikan secara santun. Peperangan antara satria dan raksasa, baik dua sosok atau lebih tidak pernah menyebabkan timbulnya luka atau semburan darah. Ajaran tentang strata sosial tidak merendahkan golongan tertentu.

2.3.Punakawan di Mata Orang Jawa
            Puna” atau “pana” dalam terminologi Jawa artinya memahami, terang, jelas, cermat, mengerti, cerdik dalam mencermati atau mengamati makna hakekat di balik kejadian-peristiwa alam dan kejadian dalam kehidupan manusia. Sedangkan kawan berarti pula pamong atau teman. Jadi punakawan mempunyai makna yang menggambarkan seseorang yang menjadi teman, yang mempunyai kemampuan mencermati, menganalisa, dan mencerna segala fenomena dan kejadian alam serta peristiwa dalam kehidupan manusia.
Para tokoh punakawan memiliki karakter yang memiliki karakter yang unik, menarik karena mewakili simbol kerendahan hati dan penebar hikmah. Sosok Gareng  digambarkan berfikir lebih cerdas, besikap hati-hati, tetapi sulit menggambarkan sesuatu melalui kata-kata yang akan diucapkan dari mulutnya sendiri. Petruk cenderung asal bicara tetatpi sebenarnya sedikit bodoh dan lugu. Bagong sosok manusia berwatak lugu yang apa adanya, sederhana, memiliki ketabahan hati yang luar biasa. Semar atau Batara Ismaya merupakan simbol atas manusia dengan kedalaman ilmu dan kearifan jiwa yang luar biasa.
2.4.Makna di Balik Simbol Punakawan
1.      Ki Lurah Semar (simbol ketentraman dan keselamatan hidup)
            Membahas Semar tentunya akan panjang lebar seperti tak ada titik akhirnya. Semar sebagai simbol bapa manusia Jawa. Bahkan dalam kitab jangka Jayabaya, Semar digunakan untuk menunjuk penasehat Raja-raja di tanah Jawa yang telah hidup lebih dari 2500 tahun. Dalam hal ini Ki Lurah Semar tiada lain adalah Ki Sabdapalon dan Ki Nayagenggong, dua saudara kembar penasehat spiritual Raja-raja. Sosoknya sangat misterius, seolah antara nyata dan tidak nyata, tapi jika melihat tanda-tandanya orang yang menyangkal akan menjadi ragu. Ki Lurah Semar dalam konteks Sabdapalon dan Nayagenggong merupakan bapa atau Dahyang-nya manusia Jawa.
            Menurut jangka Jayabaya kelak saudara kembar tersebut akan hadir kembali setelah 500 tahun sejak jatuhnya Majapahit untuk memberi pelajaran kepada momongannya manusia Jawa (nusantara). Jika dihitung kedatangannya kembali, yakni berkisar antara tahun 2005 hingga 2011. Maka bagi para satria momongannya Ki Lurah Semar ibarat menjadi jimat; mung siji tur dirumat.  Selain menjadi penasehat, punakawan akan menjadi penolong dan juru selamat/pelindung tatkala para satria momongannya dalam keadaan bahaya.
            Dalam cerita pewayangan Ki Lurah Semar jumeneng sebagai seorang Begawan, namun ia sekaligus sebagai simbol rakyat jelata. Maka Ki Lurah Semar juga dijuluki manusia setengah dewa. Dalam perspektif spiritual, Ki Lurah Semar mewakili watak yang sederhana, tenang, rendah hati, tulus, tidak munafik, tidak pernah terlalu sedih dan tidak pernah tertawa terlalu riang. Keadaan mentalnya sangat matang, tidak kagetan dan tidak gumunan. Ki Lurah Semar bagaikan air tenang yang menghanyutkan, di balik ketenangan sikapnya tersimpan kejeniusan,  ketajaman batin,  kaya pengalaman hidup dan ilmu pengetahuan. Ki Lurah Semar menggambarkan figur yang sabar, tulus, pengasih, pemelihara kebaikan, penjaga kebenaran dan menghindari perbuatan dur-angkara. Ki Lurah Semar juga dijuluki Badranaya, artinya badra adalah rembulan, naya wajah. Atau Nayantaka, naya adalah wajah, taka : pucat. Keduanya berarti menyimbolkan bahwa Semar memiliki watak rembulan (lihat thread: Pusaka Hasta Brata). Dan seorang figur yang memiliki wajah pucat, artinya Semar tidak mengumbar hawa nafsu. Semareka den prayitna: semare artinya menidurkan diri, agar supaya batinnya selalu awas. Maka yang ditidurkan adalah panca inderanya dari gejolak api atau nafsu negatif. Inilah nilai di balik kalimat wani mati sajroning urip (berani mati di dalam hidup). Perbuatannya selalu netepi kodrat Hyang Widhi (pasrah), dengan cara mematikan hawa nafsu negatif. Sikap demikian akan diartikulasikan ke dalam sikap watak wantun kita sehari-hari dalam pergaulan, “pucat’ dingin tidak mudah emosi, tenang dan berwibawa, tidak gusar dan gentar jika dicaci-maki, tidak lupa diri jika dipuji, sebagaimana watak Badranaya atau wajah rembulan.
            Dalam khasanah spiritual Jawa, khususnya mengenai konsep manunggaling kawula Gusti, Ki Lurah Semar dapat menjadi personifikasi hakekat guru sejati setiap manusia. Semar adalah samar-samar, sebagai perlambang guru sejati atau sukma sejati wujudnya samar bukan wujud nyata atau wadag, dan tak kasad mata. Sedangkan Pendawa Lima adalah personifikasi jasad/badan yang di dalamnya terdapat panca indera. Karena sifat jasad/badan cenderung lengah dan lemah, maka sebaik apapun jasad seorang satria, tetap saja harus diasuh dan diawasi oleh sang guru sejati agar senantiasa eling dan waspadha. Agar supaya jasad/badan memiliki keteguhan pada ajaran kebaikan sang guru sejati. Guru sejati merupakan pengendali seseorang agar tetap dalam “laku” yang tepat, pener dan berada pada koridor bebener. Siapa yang ditinggalkan oleh pamomong Ki Lurah Semar beserta Gareng, Petruk, Bagong, ia akan celaka, jika satria maka di negerinya akan mendapatkan banyak malapetaka seperti : musibah, bencana, wabah penyakit (pageblug), paceklik. Semua itu sebagai bebendu karena manusia (satria) yang ditinggalkan guru sejati-nya telah keluar dari jalur bebener.
            Jika ditinjau dari perspektif politik, kelompok Punakawan Ki Lurah Semar dan anak-anaknya Gareng, Petruk, Bagong sebagai lambang dari lembaga aspirasi rakyat yang mengemban amanat penderitaan rakyat. Atau semacam lembaga legislatif. Sehingga kelompok punakawan ini bertugas sebagai penyambung lidah rakyat, melakukan kritikan, nasehat, dan usulan. Berkewajiban sebagai pengontrol, pengawas, pembimbing jalannya pemerintahan di bawah para Satria asuhannya yakni Pendhawa Lima sebagai lambang badan eksekutif atau lembaga pemerintah. Dengan gambaran ini, sebenarnya dalam tradisi Jawa sejak masa lampau telah dikenal sistem politik yang demokratis.

2.      Nala Gareng
            Nala adalah hati, Gareng (garing) berarti kering, atau gering, yang berarti menderita. Nala Gareng berarti hati yang menderita. Maknanya adalah perlambang “laku” prihatin. Namun Nala Gareng diterjemahkan pula sebagai kebulatan tekad. Dalam serat Wedhatama disebutkan gumeleng agolong-gilig. Merupakan suatu tekad bulat yang selalu mengarahkan setiap perbuatannya bukan untuk pamrih apapun, melainkan hanya untuk netepi kodrat Hyang Manon. Nala Gareng menjadi simbol duka-cita, kesedihan, nelangsa. Sebagaimana yang tampak dalam wujud fisik Nala Gareng merupakan sekumpulan simbol yang menyiratkan makna sbb:
§  Mata Juling:
            Mata sebelah kiri mengarah keatas dan ke samping. Maknanya Nala Gareng selalu memusatkan batinnya kepada Hyang Widhi.
§  Lengan Bengkok atau cekot/ceko :
            Melambangkan bahwasannya manusia tak akan bisa berbuat apa-apa bila tidak berada pada kodrat atau kehendak Hayng Widhi.
§  Kaki Pincang, jika berjalan sambil jinjit :
            Artinya Nala Gareng merupakan manusia yang sangat berhati-hati dalam melangkah atau dalam mengambil keputusan. Keadaan fisik nala Gareng yang tidak sempurna ini mengingatkan bahwa manusia harus bersikap awas dan hati-hati dalam menjalani kehidupan ini karena sadar akan sifat dasar manusia yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan.
§  Mulut Gareng :
            Mulut gareng berbentuk aneh dan lucu, melambangkan ia tidak pandai bicara, kadang bicaranya sasar-susur (belepotan) tak karuan. Bicara dan sikapnya serba salah, karena tidak merasa percaya diri. Namun demikian Nala Gareng banyak memiliki teman, baik di pihak kawan maupun lawan. Inilah kelebihan Nala Gareng, yang menjadi sangat bermanfaat dalam urusan negosiasi dan mencari relasi, sehingga Nala Gareng sering berperan sebagai juru damai, dan sebagai pembuka jalan untuk negosiasi. Justru dengan banyaknya kekurangan pada dirinya tersebut, Nala Gareng sering terhindar dari celaka dan marabahaya.
3.      Petruk Kanthong Bolong
            Ki Lurah Petruk adalah putra dari Gandarwa Raja yang diambil anak oleh Ki Lurah Semar. Petruk memiliki nama alias, yakni Dawala. Dawa artinya panjang, la, artinya ala atau jelek. Sudah panjang, tampilan fisiknya jelek. Hidung, telinga, mulut, kaki, dan tangannya panjang. Namun jangan gegabah menilai, karena Lurah Petruk adalah jalma tan kena kinira, biar jelek secara fisik tetapi ia sosok yang tidak bisa diduga-kira. Gambaran ini merupakan pralambang akan tabiat Ki Lurah Petruk yang panjang pikirannya, artinya Petruk tidak grusah-grusuh (gegabah) dalam bertindak, ia akan menghitung secara cermat untung rugi, atau resiko akan suatu rencana dan perbuatan yang akan dilakukan. Petruk Kanthong Bolong, menggambarkan bahwa Petruk memiliki kesabaran yang sangat luas, hatinya bak samodra, hatinya longgar, plong dan perasaannya bolong tidak ada yang disembunyikan, tidak suka menggerutu dan  ngedumel.
            Dawala, juga menggambarkan adanya pertalian batin antara para leluhurnya di kahyangan (alam kelanggengan) dengan anak turunnya, yakni Lurah Petruk yang masih hidup di mercapada. Lurah Petruk selalu mendapatkan bimbingan dan tuntunan dari para leluhurnya, sehingga Lurah Petruk memiliki kewaskitaan mumpuni dan mampu menjadi abdi dalem (pembantu) sekaligus penasehat para kesatria.
            Petruk Kanthong Bolong wajahnya selalu tersenyum, bahkan pada saat sedang berduka pun selalu menampakkan wajah yang ramah dan murah senyum dengan penuh ketulusan. Petruk mampu menyembunyikan kesedihannya sendiri di hadapan para kesatria bendharanya. Sehingga kehadiran petruk benar-benar membangkitkan semangat dan kebahagiaan tersendiri di tengah kesedihan. Prinsip “laku” hidup Ki Lurah Petruk adalah kebenaran, kejujuran dan kepolosan dalam menjalani kehidupan. Bersama semua anggota Punakawan, Lurah Petruk membantu para kesatria Pandhawa Lima (terutama Raden Arjuna) dalam perjuangannya menegakkan kebenaran dan keadilan.
4.      Bagong
            Bagong adalah anak ketiga Ki Lurah Semar. Secara filosofi Bagong adalah bayangan Semar. Sewaktu Semar mendapatkan tugas mulia dari Hyang Manon, untuk mengasuh para kesatria yang baik, Semar memohon didampingi seorang teman. Permohonan Semar dikabulkan Hyang Maha Tunggal, dan ternyata seorang teman tersebut diambil dari bayangan Semar sendiri. Setelah bayangan Semar menjadi manusia berkulit hitam seperti rupa bayangan Semar, maka diberi nama Bagong. Sebagaimana Semar, bayangan Semar tersebut sebagai manusia berwatak lugu dan teramat sederhana, namun memiliki ketabahan hati yang luar biasa. Ia tahan menanggung malu, dirundung sedih, dan tidak mudah kaget serta heran jika menghadapi situasi yang genting maupun menyenangkan. Penampilan dan lagak Lurah Bagong seperti orang dungu.
            Meskipun demikian Bagong adalah sosok yang tangguh, selalu beruntung dan disayang tuan-tuannya. Maka Bagong termasuk punakawan yang dihormati, dipercaya dan mendapat tempat di hati para kesatria. Istilahnya bagong diposisikan sebagai bala tengen, atau pasukan kanan, yakni berada dalam jalur kebenaran dan selalu disayang majikan dan Tuhan.
            Dalam pagelaran wayang kulit, kelompok punakawan Semar, Gareng, Petruk, Bagong selalu mendapatkan tempat di hati para pemirsa. Punakawan tampil pada puncak acara yang ditunggu-tunggu pemirsa yakni goro-goro, yang menampilkan berbagai adegan dagelan, anekdot, satire, penuh tawa yang berguna sebagai sarana kritik membangun sambil bercengkerama (guyon parikena). Punakawan menyampaikan kritik, saran, nasehat, maupun menghibur para kesatria yang menjadi asuhan sekaligus majikannya. Suara punakawan adalah suara rakyat jelata sebagai amanat penderitaan rakyat, sekaligus sebagai “suara” Tuhan menyampaikan kebenaran, pandangan dan prinsip hidup yang polos, lugu namun terkadang menampilkan falsafah yang tampak sepele namun memiliki esensi yang sangat luhur. Itulah sepak “terjang punakawan” bala tengen yang suara hatinuraninya selalu didengar dan dipatuhi oleh para kesatria asuhan sekaligus majikannya.
2.5  Punakawan Kontroversial
            Dalam cerita wayang sebagaimana kisah-kisah dalam legenda lainnya, terdapat kelompok antagonis. Dalam cerita wayang tokoh-tokoh antagonis berasal dari negri seberang atau Sabrangan. Punakawan Togog atau Tejamantri, Sarawita dan Mbilung merupakan punakawan kontroversif yang selalu membimbing tokoh pembesar antagonis, para “ksatria” angkara murka (dur angkara), hingga para pimpinan raksasa jahat. Sebut saja misalnya Prabu Dasamuka, Prabu Niwatakawaca, Prabu Susarma, hingga para kesatria dur angkara dari Mandura seperti Raden Kangsa dan seterusnya. Pada intinya Ki Lurah Togog dkk selalu berada di pihak tokoh antagonis, sehingga disebut sebagai bala kiwa. Namun demikian bukan berarti kelompok punakawan ini memiliki karakter buruk.
            Ciri fisik Togog dkk memiliki mulut yang lebar. Artinya mereka selalu berkoar menyuarakan kebaikan, peringatan (pepeling) kepada majikannya agar tetap waspada dan eling, menjadi manusia jangan berlebihan. Ngono ya ngono ning aja ngono. Manusia harus mengerti batas-batas perikemanusiaan. Sekalipun akan mengalahkan lawan atau musuhnya tetap harus berpegang pada etika seorang kesatria yang harus gentle, tidak pengecut, dan tidak memenangkan perkelahian dengan jalan yang licik.
            Sekalipun menang tidak boleh menghina dan mempermalukan lawannya (menang tanpa ngasorake). Itulah ajaran Ki Lurah Togog dkk yang sering kali diminta nasehat dan saran oleh para majikannya. Namun toh akhirnya setiap nasehat, saran, masukan, aspirasi yang disampaikan Ki Lurah Togog dkk tetap saja tidak pernah digubris oleh majikannya mereka tetap setia.  Ki Lurah Togog dkk walaupun menjabat posisi sentral sebagai penasehat, pengasuh dan pembimbing, yang selalu bermulut lantang menyuarakan pepeling, seolah peran mereka hanya sebagai obyek pelengkap penderita. Walaupun Ki Lurah Togog dkk selalu gagal mengasuh majikannya para kesatria dur angkara, hingga sering berpindah majikan untuk bersuara lantang mencegah kejahatan. Bukan berarti mereka tidak setia.     Sebaliknya dalam hal kesetiaan sebagai kelompok penegak kebenaran, Ki Lurah togog patut menjadi teladan baik. Karena sekalipun sering dimaki, dibentak dan terkena amarah majikannya, Ki Lurah Togog dkk tidak mau berkhianat.
            Sekalipun selalu gagal memberi kritik dan saran kepada majikannya, mereka tetap teguh dalam perjuangan menegakkan keadilan. Dan lagi-lagi, mereka selalu dimintai saran dan kritikan, namun serta-merta diingkari pula oleh majikan-majikan barunya. Itulah nasib Togog dkk, yang mengisyaratkan nasib rakyat kecil yang selalu mengutarakan aspirasi dan amanat penderitaan rakyat namun tidak memiliki bargaining power. Ibarat menyirami gurun, seberapapun nasehat dan kritikan telah disiramkan di hati para “pemimpin” dur angkara, tak akan pernah membekas dalam watak para majikannya. Barangkali nasib kelompok punakawan Ki Lurah Togog dkk mirip dengan apa yang kini dialami oleh rakyat Indonesia. Suara hati nurani rakyat sulit mendapat tempat di hati para tokoh dan pejabat hing nusantara nagri. Sekalipun sekian banyak pelajaran berharga di depan mata, namun manifestasi perbuatan dan kebijakan politiknya tetap saja kurang populer untuk memihak rakyat kecil
2.6  Punakawan Perempuan
§  Cangik adalah seorang pelayan wanita pelawak kesayangan para penonton biasanya mengiringi kehadiran Sumbadra atau putri kelas atas lainnya. Meskipun perawakannya kurus, dadanya mengerut, dan penampilannya aneh, dia sangat mudah tersipu-sipu dan genit, dengan sisir yang selalu ia bawa sebagai buktinya. Suaranya tinggi, melengking dan seperti bersiul, karena dia tidak mempunyai gigi.
§  Limbuk adalah anak perempuan Cangik, juga seorang abdi perempuan yang konyol. Meskipun penampilannya sangat berbeda dengan ibunya, dia mempunyai rasa keyakinan yang sama akan daya tariknya yang tinggi. Dia juga membawa sebuah sisir dengannya ke mana-mana. Suaranya keras, rendah, dan menyentuh secara janggal.
§  Emban adalah seorang pengasuh di lingkungan istana bagi keluarga bangsawan, disebut juga sebagai wong cilik. Emban adalah pekerjaan yang sufat dan fungsinya sebagai pengasuh, penghibur, sekaligus penjaga keselamatan putra-putri raja sejak kanak-anak.
2.7 Kritikal Buku
a.      Jurnal Pertama
Punakawan


semar.jpg (10047 bytes)gareng.jpg (10302 bytes)bagong.jpg (8327 bytes)petruk.jpg (11563 bytes)

1. Punakawan adalah karakter yang khas dalam wayang Indonesia. Mereka melambangkan orang kebanyakan. Karakternya mengindikasikan bermacam-macam peran, seperti penasihat para ksatria, penghibur, kritisi sosial, badut bahkan sumber kebenaran dan kebijakan. Dalam wayang Jawa karakter punakawan terdiri atas Semar, Gareng, Bagong, dan Petruk. Dalam wayang Bali karakter punakawan terdiri atas Malen dan Merdah (abdi dari Pandawa) dan Delem dan Sangut (abdi dari Kurawa)

1. Punakawan is a unique type of character in Indonesian shadow theatre. They generally represent the commoners. The characters of Punakawan indicate various roles, such as the  warrior advisors, the entertainers, social critics, and clowns, a further source of truth and wisdom. In Javanese wayang, the punakawan characters consist of Semar, Gareng, Bagong, and Petruk. In Balinese wayang in the other hand, the character consist of Malen and Merdah (the maids of Pandawa) and Delem and Sangut (the maids of Kurawa)

Indonesian
2. Semar adalah pengasuh dari Pendawa. Alkisah, ia juga bernama Hyang Ismaya. Mekipun ia berwujud manusia jelek, ia memiliki kesaktian yang sangat tinggi bahkan melebihi para dewa.
3. Gareng adalah anak Semar yang berarti pujaan atau didapatkan dengan memuja. Nalagareng adalah seorang yang tak pandai bicara, apa yang dikatakannya kadang- kadang serba salah. Tetapi ia sangat lucu dan menggelikan.  Ia pernah menjadi raja di Paranggumiwang dan bernama Pandubergola. Ia diangkat sebagi raja atas nama Dewi Sumbadra. Ia sangat sakti dan hanya bisa dikalahkan oleh Petruk.
4. Bagong berarti bayangan Semar. Alkisah ketika diturunkan ke dunia, Dewa bersabda pada Semar bahwa bayangannyalah yang akan menjadi temannya. Seketika itu juga bayangannya berubah wujud menjadi Bagong. Bagong itu memiliki sifat lancang dan suka berlagak bodoh. Ia juga sangat lucu.
 5. Petruk anak Semar yang bermuka manis dengan senyuman yang menarik hati, panda berbicara, dan juga sangat lucu.  Ia suka menyindir ketidakbenaran dengan lawakan-lawakannya.  Petruk pernah menjadi raja di negeri Ngrancang Kencana dan bernama Helgeduelbek. Dikisahkan ia melarikan ajimat Kalimasada. Tak ada yang dapat mengalahkannya selain Gareng.
Semar
semar.jpg (10047 bytes)
Gareng
gareng.jpg (10302 bytes)
Bagong
bagong.jpg (8327 bytes)
Petruk
petruk.jpg (11563 bytes)
English
2. Semar is the care-giver of Pandawa. His name is also Hyang Ismaya. Even though his appearance is so ugly, he has a supernatural ability that is greater than the gods'.

3. Gareng is one of Semar's sons which means he is revered.   Nalagareng cannot speak well; furthermore, whatever he says can be totally wrong. However, he is a very funny and hilarious man. He has been a king of Paranggumiwang and has a name Pandubergola. He was elected to be a king in the name of Dewi Sumbadra. He is so powerful and can only be defeated by Petruk.


4. Bagong means shadow of Semar. When Semar was sent to the earth, the gods stated that his shadow became his friend. Suddenly, his shadow was transformed to be Bagong. Bagong has unique personality: he is assertive and like to pretend to be stupid. He is also so funny.

5. Petruk is Semar's son with the sweet face and smile. He is a smart speaker and a funny man. He likes to ridicule atrocity with his comedy. Petruk has been a king at the state of Ngrancang Kencana and is named Helgeduelbek. In one story, he took the Kalimasada amulet. Nobody can defeat him except Gareng.

b.      Jurnal Kedua
Sumber: http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CCUQFjAA&url=http%3A%2F%2Fejournal.undiksha.ac.id%2Findex.php%2FJJPSP%2Farticle%2Fdownload%2F2110%2F1842&ei=NUcsU77lOcGkrQeC04HADA&usg=AFQjCNGUBbtT6C4JAt3B-SvdLWUJDucPyQ&bvm=bv.63316862,d.bmk
c.       Perbandingan Buku dengan Jurnal
Perbandingan buku “Punakawan Simbol Kerendahan Hati Orang Jawa” karangan Ardian Kresna dengan jurnal pertama yaitu :dalam buku Kresna tokoh punakawan Semar, Gareng, Bagong Petruk digambarkan dengan sangat rinci beserta karakter keempat tokoh tersebut sedangkan dalam jurnal hanya sekilas saja. Jika dibandingkan dengan jurnal kedua tokoh punakawan dalam buku jumlahnya ada empat yaitu Semar, Gareng, Bagong Petruk sedangkan dalam jurnal ada dua yaitu Cenk dan Blonk.
Selain itu karakter tokoh punakawan dalam buku sangat bertolak belakang dengan tokoh yang di jurnal. Para tokoh punakawan memiliki karakter yang memiliki karakter yang unik, menarik karena mewakili simbol kerendahan hati dan penebar hikmah. Sosok Gareng  digambarkan berfikir lebih cerdas, besikap hati-hati, tetapi sulit menggambarkan sesuatu melalui kata-kata yang akan diucapkan dari mulutnya sendiri. Petruk cenderung asal bicara tetatpi sebenarnya sedikit bodoh dan lugu. Bagong sosok manusia berwatak lugu yang apa adanya, sederhana, memiliki ketabahan hati yang luar biasa. Semar atau Batara Ismaya merupakan simbol atas manusia dengan kedalaman ilmu dan kearifan jiwa yang luar biasa.
Sedangkan tokoh punkawan dalam jurnal di gambarkan memakai alat penyambung sengki tanduk di bagian lengan, mulut dan kaki, mengunakan pecuntil, katik badan dan katik tangan, ciri-ciri dari punakawan Cenk yaitu bentuk mulut monyong, kedua rahang atas dan bawah dapat digerakkan, giginya banyak dan gaya bicara punakawan Cenk cenderung teoritis, sifat punakawan Cenk adalah suka mencela dan mengkritik punakawan lain dan tidak mudah dikalahkan. ciri-ciri dari punakawan Blonk yaitu bentuk mulut lebar, kepala botak, perut besar. Gaya bicara punakawan Blonk ceplas-ceplos. Sifat punakawan Blonk adalah suka menceritakan dirinya.
d.      Keunggulan dan kelemahan Buku
§  Adapun keunggulan buku ini yaitu cerita wayang dijelaskan sejak kemunculannya di Indonesia beserta perkembangannya. Tokoh punakawan merupakan bahasan utama dalam buku ini, dari awal sampai akhir diceritakan punakwan simbol kerendahan hati orang Jawa. Karakter tokoh punakawan Semar, Gareng, Bagong Petruk digambarkan dengan jelas, dan sangat sering diungkapkan dalam pembahasan lainnya. Buku ini sudah membahas punakawan secara holistik dan mendalam.
§  Adapun Kelemahan buku ini tidak terlalu banyak atau bahkan sulit di temukan namunyang menjadi kelemahan buku ini yaitu punakawan sebagai simbol kerendahan hati orang jawa tidak dijelaskan penerapannya dalam atau implementasinya dalam masyarakat sekarang terutama bagi masyarakat Jawa.
§  Selain itu tokoh punakawan ini dijelaskan dalam setiap judul pembahasan namun menggunakan penjelasan yang sama dari awal sampai akhir yaitu “sosok Gareng  digambarkan berfikir lebih cerdas, besikap hati-hati, tetapi sulit menggambarkan sesuatu melalui kata-kata yang akan diucapkan dari mulutnya sendiri. Petruk cenderung asal bicara tetatpi sebenarnya sedikit bodoh dan lugu. Bagong sosok manusia berwatak lugu yang apa adanya, sederhana, memiliki ketabahan hati yang luar biasa. Semar atau Batara Ismaya merupakan simbol atas manusia dengan kedalaman ilmu dan kearifan jiwa yang luar biasa”. Seharusnya buku ini menggambarkan tokohnya dengan gambar – gambar wayangnnya dan kalimat penjelasan tentang karakter wayang tidak sama dengan kalimat sebelumnya, seperti kalimat diatas






BAB III
PRNUTUP
3.1. Kesimpulan
            Punakawan merupakan tokoh-tokoh dalam dunia pewayangan yang bentuknya aneh dan lucu, tokoh-tok tersebut yaitu Semar, Gareng, Petruk, Bagong, yang akrab dengan masyarakat jawa. Punakawan ini menggambarkan atau menjadi simbol kerendahan hati orang Jawa karena keempat tokoh ini memilik karakter yang unik, lucu, santun, rendah hati. Punakawan ini sebagai kearifan lokal telah menjadi media komunikasi dalam penyampaian pesan-pesan atau nasihat kepada masyarakat terutama bagi orang Jawa.
3.2. Saran
            Penulis menyarankan bagi pemerintah untuk ikut serta dalam melestarikan kearifan lokal terutama pewayangan. Bagi masyarakat agar lebih menjaga dan melestarikan kearifan lokal yang ada di daerahnya dengan mewariskannya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bagi kaum intelektual agar tetap berkarya dalam penulisan karya ilmiah yang berhubungan dengan kearifan lokal terutama Punakawan yang menjadi simbol kerendahan hati orang Jawa.




 DAFTAR PUSTAKA
Kresna, Ardian, 2012, Punakawan Simbol Kerendahan Hati Orang Jawa, Narasi :Yogyakarta
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CCUQFjAA&url=http%3A%2F%2Fejournal.undiksha.ac.id%2Findex.php%2FJJPSP%2Farticle%2Fdownload%2F2110%2F1842&ei=NUcsU77lOcGkrQeC04HADA&usg=AFQjCNGUBbtT6C4JAt3B-SvdLWUJDucPyQ&bvm=bv.63316862,d.bmk