Kamis, 29 Mei 2014

masalah sosial Tawuran


Masalah Sosial
 Tauran Antar Pelajar Sekolah
D
I
S
U
S
U
N
Oleh :
Rini Hesti Nasution
NIM : 3122122010
Kelas : B (Sosiologi)



UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
PEND. ANTROPOLOGI SOSIAL
2013


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Tawuran sepertinya sudah menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia, sehingga jika mendengar kata tawuran, sepertinya masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi. Berita tauran antar pelajar sekolah sering menghiasi media massa. Tawuran antar pelajar sekolah maupun tawuran antar remaja semakin menjadi semenjak terciptanya geng-geng. Perilaku anarki selalu dipertontonkan di tengah-tengah masyarakat. Mereka itu sudah tidak merasa bahwa perbuatan itu sangat tidak terpuji dan bisa mengganggu ketenangan masyarakat. Sebaliknya mereka merasa bangga jika masyarakat itu takut dengan geng kelompoknya. Seorang pelajar seharusnya tidak melakukan tindakan yang tidak terpuji seperti itu. Biasanya permusuhan antar sekolah dimulai dari masalah yang sangat sepele. Namun remaja yang masih labil tingkat emosinya justru menanggapinya sebagai sebuah tantangan.
Tawuran antar pelajar merupakan fenomena sosial dan menjadi masalah soail yang sudah dianggap lumrah oleh masyarakat di Indonesia. Bahkan ada sebuah pendapat yang menganggap bahwa tawuran merupakan salah satu kegiatan rutin dari pelajar yang menginjak usia remaja. Masih ingat peristiwa tawuran antar pelajar SMA Negeri 6 Jakarta dan SMA Negeri 70 Jakarta. Peristiwa tawuran antar-pelajar dua sekolah tersebut, Senin (24/9/2012), telah merenggut nyawa seorang siswa SMA Negeri 6. Alawy Yusianto Putra (15), siswa kelas X SMA Negeri 6, tewas setelah terkena sabetan celurit dari siswa SMA Negeri 70. Saat itu, Alawy dan teman-temannya tengah berkumpul seusai sekolah dan mendadak diserang oleh segerombolan siswa SMA Negeri 70 yang membawa senjata tajam (Kompas.com,  edisi Rabu, 26 September 2012).
Contoh di atas adalah hanya segelintir dari kejadaian tawuran anatar pelajar di negeri ini. Semestinya masa remaja dalah masa yang paliang penting dalam rentang perkembangan manuisa. Bukan diisi dengan tawuran dan hal-hal negatif, yang tidak bermanfaat untuk masa depan. Masa remaja sering dikenal dengan istilah masa pemberontakan. Pada masa-masa ini, seorang anak yang baru mengalami puberitas seringkali menampilkan beragam gejolak emosi, menarik diri dari keluarga, serta mengalami banyak masalah, baik di rumah, sekolah, atau di lingkungan pertemanannya. Faktor pemicunya menurut seorang sosiolog adalah gagalnya remaja melewati masa transisinya, dari anak kecil menjadi dewasa, dan juga karena lemahnya pertahanan diri terhadap pengaruh dunia luar yang kurang baik.
Sangat ironis ketika para kaum pelajar melakukan sebuah tindakan aksi tawuran karena mereka diharapkan mampu menjadi pembelajar sejati tetapi mereka terlibat aksi tawuran yang bersifat destruktif dan tindakan tersebut termasuk kedalam bentuk perilaku menyimpang (deviation social). Para kaum pelajar khususnya yang ada di masyarakat perkotaan pada dasarnya bersifat heterogenitas dan bersifat plural (etnis), tentunya mereka akan melakukan proses akulturasi didalamnya yang sebelumnya mereka belum mengetahui norma dari setiap orang lain khususnya yang ada di lingkungan sekitar.
Penyesuaian diri pada masa remaja sangat penting, karena masa remaja dalaha masa rentan dengan berbgai penagruh sosial yang positif atau negatif. Kalau pengaruh yang masuk adalah positif, amaka akan berdampak baik terhadap perkembangan kepribadian remaja. Tetapi sebaliknya jika pengaruh yang negatif terhdap remaja, maka akan berdampak negatif pula terhadap perkembangan kepribadain remaja.
Penyesuaian yang utama dari remaja dalah penyesuaian sosial, dimana remaja tinggal dan berhubungan baik dengan orang tua, teman sebaya, atau lingkungan skitar. Penyesuaian sosial merupakan salah satu tugasa perkembangan masa remaja yang paling sulit. Remaja dituntut menyesuaikan diri dengan lawan jenis dan orang dewasa diluar lingkungan keluarga dan sekolah.
Agar target sosialisasi remaja tercapai, berbagai bentuk penyesuaian baru harus ditempuh oleh remaja. Di antara bentuk penyesuain baru yang paling penting dan paling susah antara lain penyesuan diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, peruabahan dalam perilaku sosial, nilai-nilai yang baru dalam seleksi dalam persahabatan, nilai-nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial, dan nilai-nilai baru dalam seleksi pemimpin.
B.  Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
a.       Apa yang dimaksud dengan tauran, remaja atau pelajar ?
b.      Bagaimana  tauran antar pelajar sekolah terjadi dan apa faktor penyebabnya ?
c.       Pandangan teori sosiologi terhadap masalah sosial tauran antar pelajar sekolah ?
d.      Bagaimana solusi yang dapat dilakukan dalam mencegah tawuran anatar pelajar?
C. Tujuan Penulisan
Dari hasil identifikasi rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui :
a.       Apa yang dimaksud dengan tauran, remaja atau pelajar.
b.      Bagaimana  tauran antar pelajar sekolah terjadi dan apa faktor penyebabnya.
c.       Pandangan teori sosiologi terhadap masalah sosial tauran antar pelajar sekolah.
d.      Solusi yang dapat dilakukan dalam mencegah tawuran antar pelajar sekolah.
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan makalah ini adalah untuk memberi manfaat bagi masyarakat berupa pengetahuan untuk penyelesaian permasalahan dalam masyarakat khususnya yang berkaitan dengan masalah sosial tauran antar pelajar sekolah dalam dunia kependidikan. Selain itu untuk menjadi sumber kajian bagi peneliti lain yang berhubungan dengan bahasan makalah ini.


 BAB II
PEMBAHASAN
A.    Tauran Antar Pelajar Sekolah
Tauran menurut kamus bahasa Indonesia adalah perkelahian yang meliputi banyak orang. Sedangkan pelajar dapat diartikan seorang manusia remaja yang belajar. Jadi tauran antar pelajar sekolah dapat diartikan perkelahian yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mana perkelahian tersebut dilakukan oleh pelajar antar sekolah. Secara psikologi tauran antar pelajar sekolah dapat dikatakan sebagai kenakalan remaja.
Permasalahan tawuran kini telah meluas lingkupnya hingga ke hal-hal yang sudah tergolong dalam lingkup kriminalitas. Hal ini karena dalam sebuah fenomena sosial pasti terdapat efek beruntun ataupun efek bersamaan. Efek yang ditimbulkan tersebut diantaranya adalah pemerasan, penodongan, pembajakan angkutan umum hingga ke tindakan penculikan. Namun sayangnya, tindakan ini masih dianggap sebagai deviance dalam masyarakat. Hal ini terjadi apabila tingkat penyimpangan yang diasosiasikan terhadap keinginan atau kondisi masyarakat rata-rata telah melanggar batas-batas tertentu yang dapat ditolerir sebagai masalah gangguan keamanan dan kenyamanan masyarakat.
Sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari masyarakat termasuk dinamika, dan gejala-gejala yang terjadi di dalamnya yang dapat ditangkap dan dianalisis. Tawuran pelajar sekolah menengah yang terus mengalami perkembangan yang mengarah kepada tindakan kejahatan merupakan sebuah gejala sosiologis yang dapat dipelajari dan ditelusuri sebabnya. Terdapat pendapat yang mengatakan bahwa kejahatan merupakan fenomena yang selalu dihadapi oleh setiap masyarakat. Kejahatan tidak mungkin dihilangkan, tetapi hanya dapat dikurangi intensitas dan kualitasnya.
Sekalipun hanya dikurangi, namun hingga kini belum ada upaya yang serius untuk mengatasi permasalahan tersebut. Akibatnya fenomena tersebut kini mengkristal menjadi hal yang bersifat sistemik. Hal ini disebabkan oleh berbagai macam alasan. Mulai dari kecemburuan sosial, primordialisme berlebihan, bahkan sampai ke pembalasan dendam.
 



B.     Pelajar dan Remaja
Pelajar adalah seorang remaja yang belajar. Menurut Ali dan Asrori dalam Mulyana remaja disebut adolescence, berasal dari bahas Latin adolescere yang artinya “tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan”. Bahasa primitif dan orang-orang purbakala memandang masa puber dan masa remaja tidak berbeda dengan periode lain dalam rentang kehidupan. Anak sudah dianggap dewasa apabiala sudah mampu mengadakan reproduksi.
 Perkembangan lebih lanjut, istilah adolescence sesunguhnya memilki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosioanl, sosial, dan fisik. Pandangan ini didukung oleh Piaget dalam Mulyana yang mengatakan bahwa secara psikologis, remaja adalah suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi ke masayrakat dewasa, suatu usia di mana anak tidaka merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar. Memasuki masayarakat dewasa ini mengandung banyak aspek afektif, lebih kurang dari usia pubertas.
Menurut Hurlock dalam Mulyana (2013) rentang masa usia remaja antara 13-21 tahun, yang juga dibagai dalam masa remaja awal, anatara uisa 13/14 samapai 17 tahun, dan masa remaja akhir 17 samapi 21 tahun.
Setiap periode penting selama rentang kehidupan mempunya ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya. Begitu juga dengan masa remaja ada ciri-ciri unum yang membedakannya dengan periode-periode yang lai. Meneurut Al-mighwar dalam Mulyana masa remaja mempunyai ciri-ciri umum yaitu :
a.        Masa yang penting
Semua periode dalam rentang kehidupan memang penting, tetapi ada perbedaan dalam tingkat perbedaannya. Adanya akibat langsung terhadap sikap dan tingkah laku serta akibat-akibat jangka panjangnya menjadikan periode remaja lebih penting daripada periode yang lainnya.
b.        Masa transisi
Pada setiap periode transisi, tampak ketidakjelasan status individu dan munculnya keraguan terehdap peran terhadap peran yang harus dimainkan. Pada masa ini, remaja bukan lagi seorang anak dan bukan juga oranag dewasa.
c.       Masa perubahan
Selama masa remaja, tingkat perubahan sikap dan perilaku sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Perubahan yang terjadi pada masa remaja memang beragam, tetapi ada lima perubahan yang terjdi pada remaja :
·           Emosi yang tinggi
·           Perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosila menimbulkan masalah baru
·           Perubahan nilai-nilai sebagi konsekuensi perubahan minat dan pola tingkah laku.
·           Bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan.
d.      Masa bermasalah
Meskipun setiap periode memilki masalah sendiri, masalah masa remaja termasuk masalah yang sulit diatasi, baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan.
e.       Masa pencarian identitas
Banyak cara yang dilakukan oleh remaja untuk menunjukkan identitasnya, anatra lain penggunaan simbol-simbol status dalam bnetuk kendaraan, pakain, dan pemilikan barang-baramg lain yang mudah dilihat.
f.       Masa munculnya ketakutan
Kehidupan pada masa remaja muda cenderung tidak simpatik dan takut bertanggungjawab.
g.      Masa yang tidak realistik
Pandangan subjektif cenderung mewarnai remaja. Mereka mamandang diri sendiri dan orang lain berdasarkan keinginannya, dan bukan berdasar kenyataan yang sebenarnya, apalagi dalam cita-cita. Tidak hanya berakibat bagi dirinya sendiri, bahkan bagi keluaraga dan teman-temanya, cita-cita yang tidak realistik ini berakibat pada tingginya emosi yang merupakan ciri awal masa remaja. Semakin tidak realistik cita-citanya, semakin tinggi kemarahannya. Bila orang lain mengecewakannya atau kalau dia tidak berhasil mancapai tujuan yang ditetapkannya dia akan sakit dan kecewa.
h.      Masa menuju masa remaja
Saat usia kematangan kian dekat, para remaja merasa gelisah untuk meniggalkan streotipe usia belasan tahun yang indah di satu sisi, dan harus bersiap-siap menuju usia dewasa di sisi lainnya. Kegelisahan itu timbul akibat kebimbangan tentang bagaimana meninggalkan masa remaja dan bagaimana pula memasuki masa deawasa.
Semua individu, dalam rentang kehidupannya, memiliki tugas dan peran tersendiri. Begitu juga dengan masa remaja mempunyai tugas perkembangan yang tidak dapat terlewatkan. Semua tugas perkembangan pada masa remaja dipusatkan pada penanggulangan sikap dan perilaku yang kekanak-kanakan dan mengadakan persiapan untuk menghadapi masa dewasa, tugas perkembangan pada masa dewasa menuntut perubahan besar dalam sikap dan pola perilaku anak, akibatnya, hanya sedikit anak lak-laki yang mampu dan hanya anak perempuanlah yang dapat diharapkan untuk menguasai tugas-tugas tersebut selama awal masa remaja, apa lagi mereka yang matangnya terlambat.
Masa remaja adalah sebagai masa yang mempunyai minat dan keinginan yang sanagt tinggi terhdap sesuatu. Baik minat akan pakain, kendaraan, akan perhatian, dan lain sebagainya. Apabila minat dan keinginan tersebut tidak terpenuhi, maka akan terjadi perlawanan dari dirirnya sebagai bentuk pelampiasan dari tidak terpenuhi minat dan keinginan tersebut.
C.    Perkembangan Sosial Remaja
Perkembangan sosial pada masa remaja merupakan puncak dari perkembangan sosial dari fase-fase perkembangan. Bahkan, terkadang, perkembangan sosial remaja lebih mementingkan kehidupan sosialnya di luar dari pada ikatan sosialnya dalam keluarga. Perkembangan sosial remaja pada fase ini merupakan titik balik pusat perhatian. Lingkungan sosialnya sebagai perhatian utama.
Suatu penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Bronson, menyimpulkan adanya tiga pola orientasi sosial remaja, yaitu: (http://www.psychologymania.com).
1.       Withdrawal vs. Expansive
Anak yang tergolong withdrawal adalah anak yang mempunyai kecenderungan menarik diri dalam kehidupan sosial, sehingga dia lebih senang hidup menyendiri. Sebaliknya anak expansive suka menjelajah, mudah ergaul dengan orang lain sehingga pergaulannya luas.
2.      Reaxtive vs aplacidity
Anak yang reactive pada umumnya memiliki kepekaan sosial yang tinggi sehingg mereka banyak kegiatan, sedangkan anak yang aplacidity mempunyai sifat acuh tak acuh bahkan tak peduli terhadap kegiatan sosial. Akibatnya mereka terisolir dalam pergaulan sosial.
3.       Passivity vs Dominant
Anak yang berorientasi passivity sebenarnya banyak mengikuti kegiatan sosial namun mereka cukup puas sebagai anggota kelompok saja, sebaliknya anak yang dominant mempunyai kecenderungan menguasai dan mempengaruhi teman-temannya sehingga memiliki motivasi yang tinggi untuk menjadi pemimpin.
D.      Faktor Penyebab Terjadinya Tauran Antar Pelajar Sekolah
Menurut Wilnes dalam bukunya Punishment and Reformation sebab-sebab perilaku menyimpang dibagi menjadi dua, yaitu faktor subjektif dan objektif. Faktor subjektif adalah faktor yang berasal dari seseorang itu sendiri (sifat pembawaan yang dibawa sejak lahir). Sedangkan faktor objektif adalah faktor yang berasal dari luar (lingkungan). Misalnya keadaan rumah tangga, seperti hubungan antara orang tua dan anak yang tidak serasi (Risfaisal http://sosbud.kompasiana.com).
Meneurut Sander Diki Zulkarnaen dalam Mulyana (2011) dalam pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walau tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal perkelahian pelajar. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian pelajar.
1.       Faktor internal
Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang / pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan.
2.        Faktor keluarga
Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirnya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
3.      Faktor sekolah 
Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam “mendidik” siswanya.


4.       Faktor lingkungan
Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi.
E.     Analisis  Tawuran Antar Pelajar Sekolah Menurur Teori Sosiologi
Tauran antar pelajar sekolah merupakan salah satu masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. Masalah sosial ini merupakan fenomena sosial yang sudah dianggap lumrah oleh beberapa kalangan masyarakat di Indonesia. Bahkan ada pendapat yang menganggap bahwa tawuran merupakan salah satu kegiatan rutin dari pelajar yang menginjak usia remaja. Realita tawuran antar pelajar sering terjadi di kota-kota besar yang seharusnya memiliki masyarakat dengan peradaban yang lebih maju.
Kerugian yang disebabkan oleh tawuran tidak hanya menimpa korban dari tawuran saja, tetapi juga mengakibatkan kerusakan di tempat mereka melakukan aksi tersebut. Akibatnya masyarakat menjadi resah terhadap ulah pelajar remaja. Keresahan tersebut akan menimbulkan rasa tidak percaya terhadap generasi muda yang seharusnya menjadi agen perubahan bangsa. Ada pula anggapan yang menyatakan bahwa prosedur pendidikan di Indonesia juga berpengaruh terhadap konflik yang marak terjadi di Indonesia. Pendidikan di Indonesia cenderung memaksakan seorang pelajar untuk berpikir sesuai dengan kurikulum yang dibuat oleh pemerintah. Kurikulum tersebut cenderung mengeksploitasi kemampuan berpikir dari pelajar. Akibatnya para pelajar merasa dipenjara oleh fakta sosial pendidikan yang ada sehingga ingin melakukan hal yang menurut mereka di luar dari fakta sosial tersebut dan bersifat deviance.
Pendidikan sebenarnya hanyalah sekumpulan konsep dari rumus, teori, ujian, dan tidak lebih dari itu. Hal tersebut tidak dapat ditawar oleh pelajar dan akhirnya menciptakan kondisi yang mereka anggap sama diantara pelajar tersebut. Kemudian muncul ikatan kelompok yang cukup kuat seperti gank-gank ataupun sejenisnya, sehingga mendorong sikap altruistik di kalangan pelajar. Sikap altruistik menunjukkan ikatan yang terlalu kuat dengan kehidupan kolektif remaja tersebut. Wajib belajar 12 tahun telah berhasil mewujudkan sikap kolektivitas di kalangan remaja. Kolektivitas inilah yang pada akhirnya menjadikan sikap altruisme di kalangan remaja dan membentuk kelompok-kelompok. Pada kelompok-kelompok ini tawuran bisa terjadi oleh faktor spontanitas kolektif untuk membela ikatan mereka ataupun paksaan dikarenakan seorang pelajar dianggap sebagai pengecut oleh rekan-rekannya dalam lingkungan tersebut. Tidak jarang anggota kelompok yang lainnya memancing tawuran dengan alasan membalaskan dendam anggota kelompoknya.
Di sisi bersamaan, dalam melakukan tawuran biasanya para pelaku tawuran membutuhkan perlengkapan ataupun fasilitas yang lainnya. Tidak jarang mereka membajak angkutan umum untuk mobilitas mereka ke tempat mereka akan melakukan tawuran (http://musangiseng.blogspot.com/2009/12/analisis-tawuran-pelajar-di-indonesia.html).
 

 Berikut analisis terjadinya tauran berdasarkan teori – teori sosiologi dan ahlinya :

a.       Emile Durkheim
Menurut seorang sosiolog, Emille Durkheim, tindakan para pelajar dalam tawuran merupakan perilaku menyimpang atau deviance. Faktor penyebab deviance sendiri beraneka ragam sehingga diperlukan analisis dengan perspektif sosiologi konflik untuk menemukan upaya rekonsiliasi yang mampu mengamodasi permasalahan tersebut.
Menurut teori Struktural-Fungsional (Durkheim) tauran antar pelajar terjadi karena struktur dalam sekolah atau pendidikan yang salah. Karena tauran terjadi salah satu faktornya nilai yang sudah ada dalam kelompok pelajar sekolah yang di turunkan dari satu generasi terhadap generasi berikutnya atau senior ke junior.
 Masing-masing kubu yang berseteru di dalam tawuran dapat disebut sebagai kelompok karena menurut pandangan Durkheim, Bierstedt, dan Parson, telah memenuhi kriteria sebuah kelompok yakni memiliki interaksi antar anggota yang intensif dan adanya kesadaran kolektif bahwa mereka merupakan bagian dari kelompok tersebut. Studi kasusnya, anggaplah kelompok yang bertawuran diberikan kode kelompok A dan kelompok B. Kelompok A dan B ini pastinya sering berkumpul dan bertemu sehingga secara tidak langsung interaksi antar anggota kelompok terjalin secara intensif sehingga mampu menimbulkan kohesivitas yang tinggi antar anggota kelompok. Maka jika terjadi hal yang merugikan salah satu anggota kelompok di karenakan kelompok pelajar sekolah lain, akan ada dorongan untuk melawan atau melakukan balas dendam terhadap pelajar sekolah tersebut.
Dalam menganalisa sumber konflik, perlu diidentifikasi penyebab tersebut berdasarkan dimensi-dimensinya. Pertama dimensi struktural yang berkaitan dengan kebijakan dan pengambilan keputusan yang dianggap kurang tepat. Misalnya kebijakan Ujian Nasional yang ditetapkan pemerintah turut serta dalam perwujudan konflik antar pelajar. Hal ini disebabkan karena para pelajar merasa terkekang dalam sebuah kebijakan yang menurut mereka telah mengeksploitasi waktu serta pikiran mereka. Walhasil, mereka akan melakukan upaya untuk terbebas dari aturan-aturan tersebut dengan melampiaskannya dalam konfrontasi fisik.
Dimensi yang kedua adalah dimensi kultural. Dilihat dari dimensi ini, konflik antar pelajar remaja telah menjadi gaya hidup dari remaja itu sendiri. Hal ini menciptakan suatu nilai dalam remaja bahwa yang tidak ikut dalam tawuran adalah remaja yang pengecut. Atas dasar inilah, para remaja menjadi bersikap militan terhadap kelompoknya sekalipun mereka tidak mengetahui sebab konflik itu terjadi.
Dimensi yang ketiga adalah dimensi perilaku. Hal ini berkaitan erat dengan aspek psikologis dari para pelajar remaja di Indonesia. Konflik sosial psikologis berkaitan dengan persoalan salah persepsi, sikap yang negatif, bahkan hingga ke persoalan identitas kelompok dan daerah. Identitas kelompok yang mengeras dan ekslusif menimbulkan jarak dengan kelompok lain, dan amat mudah bergesekkan dan menimbulkan konflik.
b.      Max Weber
Tauran dapat kita analisis berdasarkan teori tindakan sosial Weber. Tauran terjadi karena dorongan atau pengaruh pihak maupun kelompok pelajar sekolah lain. Tauran merupakan sebuah tindakan sosial yang di laksanakan pelajar antar sekolah. Tindakan sosial adalah  “ tindakan manusia yang dapat mempengaruhi individu-individu lainnya dalam masyarakat serta mempunyai maksud tertentu, suatu tindakan sosial adalah tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain dan berorientasi pada perilaku orang lain”.
Peristiwa tawuran antar pelajar SMA Negeri 6 dan SMA Negeri 70. Peristiwa tawuran antar-pelajar dua sekolah tersebut, Senin (24/9/2012), telah merenggut nyawa seorang siswa SMA Negeri 6. Alawy Yusianto Putra (15), siswa kelas X SMA Negeri 6, tewas setelah terkena sabetan celurit dari siswa SMA Negeri 70. Saat itu, Alawy dan teman-temannya tengah berkumpul seusai sekolah dan mendadak diserang oleh segerombolan siswa SMA Negeri 70 yang membawa senjata tajam (Kompas.com,  edisi Rabu, 26 September 2012).
Peristiwa diatas terjadi karena adanya tujuan tertentu yang ingin dicapai kelompok pelajar dari SMA Negeri 70 Jakarta dan tujuan tersebut berkaitan dengan tindakan kelompok pelajar dari sekolah SMA Negeri  Jakarta. Faktor penyebabnya bisa beragam, seperti caci maki, senggol – senggolan, masalah pacaran, ingin menujnukkan kekuatan masing – masing kelompok pelajar sekolah, sosialisasi yang tidak sempurnah baik dalam keluarga, sekolah maupun lingkungan sepermainan atau genknya.
c.       Talcot Parson 
Teori Fungsionalisme Struktural Talcot Parson ini bisa menganalisis bagaimana tauran antar pelajar sekolah dapat terjadi. Pandangannya tentang tindakan manusia itu bersifat voluntaristik, artinya karena tindakan itu didasarkan pada dorongan kemauan, dengan mengindahkan nilai, ide dan norma yang disepakati. Tindakan individu manusia memiliki kebebasan untuk memilih sarana (alat) dan tujuan yang akan dicapai itu dipengaruhi oleh lingkungan atau kondisi-kondisi, dan apa yang dipilih tersebut dikendalikan oleh nilai dan norma. Tindakan individu manusia itu juga ditentukan oleh orientasi subjektifnya, yaitu berupa orientasi motivasional dan orientasi nilai.
Para remaja yang terlibat tauran atau perkelahian berada dalam sebuah organisasi atu genk. Disini terdapat aturan atau norma, kebiasan serta nilai yang di pegang dan di ikuti anggota kelompok atau genk pelajar tersebut termasuk berkelahi. Sebagai anggota tumbuh kebanggan apabila dapat melakukan apa yang diharapkan oleh kelompoknya. Jadi jika salah satu anggota kelompok di ganggu kelompok lain baik dari dalam sekolah maupun sekolah lain akan terjadi perlawanan semua anggota kelompok yang sangat cepat terhadap kelompok yang menggangu. Hal karena semua fungsi nilai, norma yang ada dalam struktur kelompok tersebut berjalan dengan baik.
d.      Karl Marx
Tauran antar pelajar sekolah merupakan sebuah konflik dan masalah sosial yang dapat kita analisi berdasarkan teori konflik kelas Marx. Setiap sekolah pasti ingin menjadi sebuah sekolah yang memiliki derajat yang paling tinggi di banding sekolah lain. Genk atau kelompok yang terbentuk dalam sekolah tertentu akan memiliki perasaan dan pandangan bahwa mereka lebih baik dan ingin mengusasi kelompok pelajar sekolah lain.
Sementara bagi kelompok pelajar dari sekolah tertentu yang memiliki derajat lebih rendah, akan berusaha menunjukkan kemampuannya untuk mengakahkan sekolah yang dianggap mengusai mereka. Jika terjadi suatu konflik baik bersifat makro atau mikro diantara kelompok pelajar kedua sekolah tersebut, maka akan terjadi tauran antar kedua kelompok pelajar tersebut. Hal ini dikarenakan situasi kelompok yang di kuasai sudah tidak sanggup untuk diredam. Faktor yang sepele pun bisa menjadi alasan untuk melakukan tauran, seperti kecemburuan sosial diantara anggota kelompok sekolah yang satu dengan yang lainnya.
e.       Lewis Coser
Konflik tawuran yang terjadi bila hubungkan dengan teori Lewis Coser yaitu  konflik sebagai mekanisme perubahan sosial dan penyesuaian, dapat memberi peran positif atau fungsi positif dalam masyarakat. Dengan kata lain tawuran yang terjadi tidak hanya memberikan hal-hal negatif terhadap masyarakat, tetapi hal positif dalam situasi tertentu dan kepada siapa positif itu di terima. Tipe konflik dari konflik realitas sumber dari tawuran bisa dari asal usul, sesuatu yang diunggulkan dari siswa, dengan mencemooh, kualitas sekolah. Konflik non realistis sebab tawuran yaitu sumbernya dari ke tidak rasional, ideologis siswa tawuran seperti masalah harga diri, dendam. Selanjutnya konflik eksternal dengan adanya tawuran menciptakan dan mempererat identitas kelompok, meningkatkan partisipasi anggota terhadap pengorganisasian kelompok, perhatian orang tua dan guru dalam mendidik siswa - siswinya. Teori internal dengan memberikan koreksi pada perilaku tawuran anggota kelompok.
Dengan  adanya tawuran konflik tersebut bisa diselesaikan dengan berbagai cara yaitu dengan konsiliasi yaitu dari pihak tawuran  di selesaikan di lembaga tertentu sehingga memperoleh solusi atas masalahnya. Mediasi yaitu dengan melalui jasa perantara yang bersikap netral sehingga perantara tersebut mempertemukan dan mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa tersebut. Arbitrase  yaitu penyelesaian tawuran bisa melalui pihak ketiga dengan membuat keputusan-keputusan berdasarkan ketentuan atau aturan yang telah di tetapkan. Adjudication yaitu penyelesaian perkara di meja hijau. Atau dengan Stalemate yaitu tawuran yang berhenti sendirinya. Dan dapat di cegah  dengan menumbuhkan rasa toleransi terhadap setiap orang dan pendidikan agama serta moral  terhadap siswa sekolah di usia dini hingga dewasa.
F.     Dampak Tauran Antar Pelajar Sekolah
Berikut ini beberapa dampak tauran antar pelajar sekolah :
·         Kerusakan sarana dan prasarana
·         Individu mengalami luka – luka bahkan menelan korban jiwa
·         Kebencian yang mendarah dangin antar pelajar sekolah
·         Kualitas sekolah semakin buruk
·         Keresahan orang tua dan masyarakat
·         Merupakan aib bagi sekolah, guru, orang tua serta masyarakat dll
G.    Solusi Mencegah Tawuran Antar Pelajar Sekolah

Agar tidak terjadi tauran antar pelajar sekolah maka dapat dicegah melaui peran serta semua pihak seperti berikut ini.
1.      Lingkungan keluarga
Orang tua harus memperhatikan apa yang di tonton, dan dimainkan anak lewat game. Perilaku mereka sangat dipengaruhi oleh model-model yang disajikan lewat media masa berupa televisi, tindak kekerasan dan perkelahi akan cepet ditiru oleh remja. Dipengaruhi oleh agresifitas model dalam game yang mereka mainkan. Oleh karena itu orang tua harus mampu membatasi remaja dalam menonton TV yang menontonkan kekersan atau memainkan game yang dapat menigkatkan agresifitas mereka. Orang tua harus menjadai model yang baik bagi anak-anaknya.  Perilaku dari orang tua harus bisa ditiru dan dicontoh oleh anak-anaknya, sehingga dia punya model yang baik dalam hidupnya berupa ayah dan ibunya. Dari segi identitas diri, orang tua harus bisa memahami keinginan remaja. Mereka tidak bisa dikekang sekehendak orang tua, tetapi harus diarahkan dengan bimbingan dari orang tua agar tidak timbul kekacauan identitas yang dilmpiaskan dengan kenakalan berupa tawuran.
2.       Lingkungan sekolah
Untuk mecegah tawuran anatar pelaja, sekolah harus mampu megakomodasi bakat-bakat dan keahlian yang dimilki oleh anak didik. Menyediakan kegiatan ekstra kulikuler yang bermanfaat bagi anak didiknya. Tidak ada waktu yang terbuang percuma, hanya untuk tawuran. Fasilitas dan sarana yang mendukung untuk menciptakan dan menyalurkan bakat-bakat anak didik harus disediakan dengan memadai, sehingga perilaku mereka dapat tersalurkan ke hal-hal yang positif.
Di sekolah juga, guru harus menjadi model dan contoh yang baik bagi peserta didiknya. Guru dan dewan sekolah harus menberikan perilaku yang baik bagi peserta didiknya, sehingga peserta didik tidak mencari model di luar yang tidak patut ditiru dalam perilakunya.
3.      Memberikan hukuman
Upaya lainnya yang dapat dalkukan untuk mencegah tawuran adalah dengan memberikan hukuman dan sanksi yang membuat efek jera terhadap perilaku tawuran. Para penegak hukum harus tegas dalam memberikan hukuman dan sanksi terhdap perilaku tawuran. Meskipun terkadang upaya ini tidak efektif, buktinya hukuman dan sanksi ada tetapi tawuran masih terus meralajalela dikalangan pelajar. Setidaknya penerapan hukuman dan sanksi yang tegas dapat mengurangi perilaku tawuran dari pelajar.
Sedangkan menurut Panuju dan Umami (1999:164) tindakan yang dapat dilkukan untuk mengatasi kenakalan renmaja seperti tawuran adalah:
1.      Tindakan Preventif
Usaha pencegahan timbulnya kenakalan remaja secara umum :
a.       Mengenal dan mengetahui ciri umum dan khas remaja
b.        Mengetahui kesulitan-kesulitan yang secara umum dialami oleh para remaja. Kesulitan-kesulitan manakah yang biasanya menjadi sebab timbulnya penyaluran dalam bentuk kenakalan
c.       Usaha pembinaan remaja:
·         Menguatkan sikap mental remaja supaya mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapinya.
·         Memberikan pendidikan bukan hanya dalam penambahan pengetahuan dan keterampilan melainkan pendidikan mental dan pribadi melalui pengajaran agama, budi pekerti, dan etiket.
·         Menyediakan sarana-sarana dan meciptakan suasana yang optimal demi perkembangan pribadi yang wajar.
·         Usaha memperbaiki keadaan lingkungan sekitar, keadaan sosial keluarga maupun masyarakat di mana terjadi banyak kenakalan remaja.
Usaha pencegahan kenakalan remaja secara khusus
Dilakukan oleh para pendidik terhadap kelainan tingkahlaku para remaja. Pendidikan mental di sekolah dilakukan oleh guru, guru pembimbing, dan psikolog sekolah bersama dengan para pendidik lainnya. Sarana pendidikan lainya mengambil peranan penting dalam pembentukan pribadi yang wajar dengan mental yang sehat dan kuat. Misalnya kepramukaan, dan yang lainnya. Usaha pendidik harus diarahkan terhadap remaja dengan mengamati, memberikan perhatian khusus dan mengawasi setiap penyimpangan tingkah laku remaja di rumah dan di sekolah.
2.      Tindakan Represif
Usaha menindak pelanggaran norma-norma sosial dan moral dapat dilakukan dengan mengadakan hukuman terhadap setiap perbuatan pelanggaran.
·           Rumah, remaja harus mentaati peraturan dan tata cara yang berlaku. Disamping itu perlu adanya semacam hukuman yang dibuat oleh orangtua terhadap pelanggaran tata tertib dan tata cara keluarga. Pelaksanaan tata tertib harus dilakukan dengan konsisten. Setiap pelanggaran yang sama harus dikenakan sanksi yang sama. Sedangkan hak dan kewajiban anggota keluarga mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan dan umur.
·           Di sekolah, kepala sekolahlah yang berwenang dalam pelaksanaan hukuman terhadap pelanggaran tata tertib sekolah. Dalam beberapa hal guru juga berhak bertindak. Akan tetapi hukuman yang berat seperti skorsing maupun pengeluaran dari sekolah merupakan wewenang kepala sekolah. Guru dan staf pembimbing bertugas menyam-paikan data mengenai pelanggaran dan kemungkinan-kemungkinan pelanggaran maupun akibatnya. Pada umumnya tindakan represif diberikan diberikan dalam bentuk memberikan peringatan secara lisan maupun tertulis kepada pelajar dan orang tua, melakukan pengawasan khusus oleh kepala sekolah dan team guru atau pembimbing dan melarang bersekolah untuk sementara atau seterusnya tergantung dari macam pelanggaran tata tertib sekolah yang digariskan.
3.      Tindakan Kuratif dan Rehabilitasi
Dilakukan setelah tindakan pencegahan lainnya dilaksanakan dan dianggap perlu mengubah tingkahlaku si pelanggar remaja itu dengan memberikan pendidikan lagi. Pendidikan diulangi melalui pembinaan secara khusus, hal mana sering ditanggulangi oleh lembaga khusus maupun perorangan yang ahli dalam bidang ini.
Berikut secara singkat hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya tauran antar pelajar sekolah :
·         Membuat peraturan sekolah yang lebih tegas. Peraturan itu harus membuat pelajar takut untuk melanggarnya dan yang penting peraturan ya di buat harus benar-benar di terapkan.
·         Memberikan perhatian dan pengawasan dari pihak keluarga.
·         Member pendidikan anti tawuran, dan menjelaskan dampak dari tawuran itu.
·         Sekolah mengadakan kalaborasi belajar antar sekolah dan membuat kegiatan-kegiatan yang menarik serta bermanfaat tentunya.
·         Menerapakan ajaran agama.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Tauran antar pelajar sekolah merupakan salah satu masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. Masalah sosial ini merupakan fenomena sosial yang sudah dianggap lumrah oleh beberapa kalangan masyarakat di Indonesia. Faktor  penyebab tauran yaitu Faktor subjektif adalah faktor yang berasal dari seseorang itu sendiri (sifat pembawaan yang dibawa sejak lahir). Sedangkan faktor objektif adalah faktor yang berasal dari luar (lingkungan). Sedangkan secara psikologis faktor penyebabnya yaitu faktor internal, keluarga, sekolah dan lingkungan.
Analis tauran antara pelajar bisa melalui teri sosiologi Emile Durkheim, Karl Marx, Talcot Parson dll. Cara pencegahannya yaitu dengan :
·         Membuat peraturan sekolah yang lebih tegas. Peraturan itu harus membuat pelajar takut untuk melanggarnya dan yang penting peraturan ya di buat harus benar-benar di terapkan.
·         Memberikan perhatian dan pengawasan dari pihak keluarga.
·         Member pendidikan anti tawuran, dan menjelaskan dampak dari tawuran itu.
·         Sekolah mengadakan kalaborasi belajar antar sekolah dan membuat kegiatan-kegiatan yang menarik serta bermanfaat tentunya.
·         Menerapakan ajaran agama.

B.     Saran atau Rekomendasi
Penulis merekomendasikan kepada orang tua, sekolah, masyarakat agar memberikan perhatian dan pengawsan yang ketat bagi remaja atau pelajar sekolah – sekolah di indonesia. Agar tidak terjadi tauran antar pelajar lagi. Bakat yang dimiliki anak di salurkan kepada hal – hal yang bersifat positif baik di sekolah dengan peran guru, maupun dirumah dengan peran orang tua. Serta bagi pelajar Indonesia janganlah melakukan tindakan yang merugikan diri sendiri dan orang lain, karena itu dapat mencoreng identitas pelajar sebagai generasi penerus bangsa yang membawa kemajuan, kemakmuran. Bagi pemerintah penegakan hukum yang lebih serius bagi siapa pun termasuk pelajar.
DAFTAR PUSTAKA
http://fitripitli.blogspot.com/2013/01/tawuran-pelajar.html. Diposkan 28th January 2013 oleh fitri amalia. diakses tanggal 27 - 02- 2014.
http://sosbud.kompasiana.com/2011/09/24/tawuranisme-pelajar-tinjauan-sosiologis-398105.html. diakses tanggal 27 - 02- 2014
http : // Compas. Com.
 

1 komentar: