Masalah Sosial
Tauran Antar Pelajar Sekolah
D
I
S
U
S
U
N
Oleh :
Rini Hesti
Nasution
NIM : 3122122010
Kelas : B
(Sosiologi)
UNIVERSITAS
NEGERI MEDAN
PEND.
ANTROPOLOGI SOSIAL
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tawuran
sepertinya sudah menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia, sehingga jika
mendengar kata tawuran, sepertinya masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi.
Berita tauran antar pelajar sekolah sering menghiasi media massa. Tawuran antar
pelajar sekolah maupun tawuran antar remaja semakin menjadi semenjak
terciptanya geng-geng. Perilaku anarki selalu dipertontonkan di tengah-tengah
masyarakat. Mereka itu sudah tidak merasa bahwa perbuatan itu sangat tidak
terpuji dan bisa mengganggu ketenangan masyarakat. Sebaliknya mereka merasa
bangga jika masyarakat itu takut dengan geng kelompoknya. Seorang pelajar
seharusnya tidak melakukan tindakan yang tidak terpuji seperti itu. Biasanya
permusuhan antar sekolah dimulai dari masalah yang sangat sepele. Namun remaja
yang masih labil tingkat emosinya justru menanggapinya sebagai sebuah
tantangan.
Tawuran antar pelajar merupakan
fenomena sosial dan menjadi masalah soail yang sudah dianggap lumrah oleh
masyarakat di Indonesia. Bahkan ada sebuah pendapat yang menganggap bahwa
tawuran merupakan salah satu kegiatan rutin dari pelajar yang menginjak usia
remaja. Masih ingat peristiwa tawuran
antar pelajar SMA
Negeri 6 Jakarta dan SMA Negeri 70 Jakarta. Peristiwa tawuran antar-pelajar dua sekolah tersebut,
Senin (24/9/2012), telah merenggut
nyawa seorang siswa SMA
Negeri 6. Alawy
Yusianto Putra (15), siswa kelas X SMA Negeri 6, tewas
setelah terkena sabetan celurit dari siswa
SMA Negeri 70. Saat itu,
Alawy dan teman-temannya tengah berkumpul seusai sekolah dan mendadak diserang
oleh segerombolan siswa SMA Negeri 70 yang membawa senjata tajam (Kompas.com, edisi Rabu, 26 September 2012).
Contoh di atas adalah
hanya segelintir dari kejadaian tawuran anatar pelajar di negeri ini.
Semestinya masa remaja dalah masa yang paliang penting dalam rentang
perkembangan manuisa. Bukan diisi dengan tawuran dan hal-hal negatif, yang
tidak bermanfaat untuk masa depan. Masa remaja sering dikenal dengan istilah
masa pemberontakan. Pada masa-masa ini, seorang anak yang baru mengalami
puberitas seringkali menampilkan beragam gejolak emosi, menarik diri dari keluarga,
serta mengalami banyak masalah, baik di rumah, sekolah, atau di lingkungan
pertemanannya. Faktor pemicunya menurut seorang sosiolog adalah
gagalnya remaja melewati masa transisinya, dari anak kecil menjadi dewasa, dan
juga karena lemahnya pertahanan diri terhadap pengaruh dunia luar yang kurang
baik.
Sangat
ironis ketika para kaum pelajar melakukan sebuah tindakan aksi tawuran karena
mereka diharapkan mampu menjadi pembelajar sejati tetapi mereka terlibat aksi
tawuran yang bersifat destruktif dan tindakan tersebut termasuk kedalam bentuk
perilaku menyimpang (deviation social). Para kaum pelajar khususnya yang ada di
masyarakat perkotaan pada dasarnya bersifat heterogenitas dan bersifat plural
(etnis), tentunya mereka akan melakukan proses akulturasi didalamnya yang
sebelumnya mereka belum mengetahui norma dari setiap orang lain khususnya yang
ada di lingkungan sekitar.
Penyesuaian diri pada
masa remaja sangat penting, karena masa remaja dalaha masa rentan dengan
berbgai penagruh sosial yang positif atau negatif. Kalau pengaruh yang masuk
adalah positif, amaka akan berdampak baik terhadap perkembangan kepribadian
remaja. Tetapi sebaliknya jika pengaruh yang negatif terhdap remaja, maka akan
berdampak negatif pula terhadap perkembangan kepribadain remaja.
Penyesuaian yang
utama dari remaja dalah penyesuaian sosial, dimana remaja tinggal dan
berhubungan baik dengan orang tua, teman sebaya, atau lingkungan skitar.
Penyesuaian sosial merupakan salah satu tugasa perkembangan masa remaja yang
paling sulit. Remaja dituntut menyesuaikan diri dengan lawan jenis dan orang
dewasa diluar lingkungan keluarga dan sekolah.
Agar target
sosialisasi remaja tercapai, berbagai bentuk penyesuaian baru harus ditempuh
oleh remaja. Di antara bentuk penyesuain baru yang paling penting dan paling
susah antara lain penyesuan diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya,
peruabahan dalam perilaku sosial, nilai-nilai yang baru dalam seleksi dalam
persahabatan, nilai-nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial, dan nilai-nilai
baru dalam seleksi pemimpin.
B. Rumusan Masalah
Dari
latar belakang di atas, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
a. Apa
yang dimaksud dengan tauran, remaja atau pelajar ?
b. Bagaimana tauran antar pelajar sekolah terjadi dan apa
faktor penyebabnya ?
c. Pandangan
teori sosiologi terhadap masalah sosial tauran antar pelajar sekolah ?
d. Bagaimana
solusi yang dapat dilakukan dalam mencegah tawuran anatar pelajar?
C. Tujuan Penulisan
Dari
hasil identifikasi rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini
adalah untuk mengetahui :
a. Apa
yang dimaksud dengan tauran, remaja atau pelajar.
b. Bagaimana tauran antar pelajar sekolah terjadi dan apa faktor
penyebabnya.
c. Pandangan
teori sosiologi terhadap masalah sosial tauran antar pelajar sekolah.
d. Solusi
yang dapat dilakukan dalam mencegah tawuran antar pelajar sekolah.
D. Manfaat Penulisan
Adapun
manfaat penulisan makalah ini adalah untuk memberi manfaat bagi masyarakat
berupa pengetahuan untuk penyelesaian permasalahan dalam masyarakat khususnya
yang berkaitan dengan masalah sosial tauran antar pelajar sekolah dalam dunia
kependidikan. Selain itu untuk menjadi sumber kajian bagi peneliti lain yang
berhubungan dengan bahasan makalah ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Tauran
Antar Pelajar Sekolah
Tauran
menurut kamus bahasa Indonesia adalah perkelahian yang meliputi banyak orang.
Sedangkan pelajar dapat diartikan seorang manusia remaja yang belajar. Jadi
tauran antar pelajar sekolah dapat diartikan perkelahian yang dilakukan oleh
sekelompok orang yang mana perkelahian tersebut dilakukan oleh pelajar antar
sekolah. Secara psikologi tauran antar pelajar sekolah dapat dikatakan sebagai
kenakalan remaja.
Permasalahan tawuran kini telah
meluas lingkupnya hingga ke hal-hal yang sudah tergolong dalam lingkup
kriminalitas. Hal ini karena dalam sebuah fenomena sosial pasti terdapat efek
beruntun ataupun efek bersamaan. Efek yang ditimbulkan tersebut diantaranya
adalah pemerasan, penodongan, pembajakan angkutan umum hingga ke tindakan
penculikan. Namun sayangnya, tindakan ini masih dianggap sebagai deviance dalam
masyarakat. Hal ini terjadi apabila tingkat penyimpangan yang diasosiasikan
terhadap keinginan atau kondisi masyarakat rata-rata telah melanggar
batas-batas tertentu yang dapat ditolerir sebagai masalah gangguan keamanan dan
kenyamanan masyarakat.
Sosiologi merupakan ilmu yang
mempelajari masyarakat termasuk dinamika, dan gejala-gejala yang terjadi di
dalamnya yang dapat ditangkap dan dianalisis. Tawuran pelajar sekolah menengah
yang terus mengalami perkembangan yang mengarah kepada tindakan kejahatan
merupakan sebuah gejala sosiologis yang dapat dipelajari dan ditelusuri
sebabnya. Terdapat pendapat yang mengatakan bahwa kejahatan merupakan fenomena
yang selalu dihadapi oleh setiap masyarakat. Kejahatan tidak mungkin
dihilangkan, tetapi hanya dapat dikurangi intensitas dan kualitasnya.
Sekalipun hanya dikurangi, namun
hingga kini belum ada upaya yang serius untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Akibatnya fenomena tersebut kini mengkristal menjadi hal yang bersifat
sistemik. Hal ini disebabkan oleh berbagai macam alasan. Mulai dari kecemburuan
sosial, primordialisme berlebihan, bahkan sampai ke pembalasan dendam.
B.
Pelajar dan Remaja
Pelajar
adalah seorang remaja yang belajar. Menurut Ali dan Asrori dalam Mulyana remaja
disebut adolescence, berasal dari bahas Latin adolescere yang
artinya “tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan”. Bahasa primitif dan
orang-orang purbakala memandang masa puber dan masa remaja tidak berbeda dengan
periode lain dalam rentang kehidupan. Anak sudah dianggap dewasa apabiala sudah
mampu mengadakan reproduksi.
Perkembangan
lebih lanjut, istilah adolescence sesunguhnya memilki arti yang luas,
mencakup kematangan mental, emosioanl, sosial, dan fisik. Pandangan ini
didukung oleh Piaget dalam Mulyana yang mengatakan bahwa secara psikologis,
remaja adalah suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi ke masayrakat
dewasa, suatu usia di mana anak tidaka merasa bahwa dirinya berada di bawah
tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar.
Memasuki masayarakat dewasa ini mengandung banyak aspek afektif, lebih kurang
dari usia pubertas.
Menurut
Hurlock dalam Mulyana (2013) rentang masa usia remaja antara 13-21 tahun, yang
juga dibagai dalam masa remaja awal, anatara uisa 13/14 samapai 17 tahun, dan
masa remaja akhir 17 samapi 21 tahun.
Setiap
periode penting selama rentang kehidupan mempunya ciri-ciri tertentu yang
membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya. Begitu juga dengan masa
remaja ada ciri-ciri unum yang membedakannya dengan periode-periode yang lai.
Meneurut Al-mighwar dalam Mulyana masa remaja mempunyai ciri-ciri umum yaitu :
a. Masa yang penting
Semua
periode dalam rentang kehidupan memang penting, tetapi ada perbedaan dalam
tingkat perbedaannya. Adanya akibat langsung terhadap sikap dan tingkah laku
serta akibat-akibat jangka panjangnya menjadikan periode remaja lebih penting
daripada periode yang lainnya.
b.
Masa transisi
Pada
setiap periode transisi, tampak ketidakjelasan status individu dan munculnya
keraguan terehdap peran terhadap peran yang harus dimainkan. Pada masa ini,
remaja bukan lagi seorang anak dan bukan juga oranag dewasa.
c. Masa
perubahan
Selama
masa remaja, tingkat perubahan sikap dan perilaku sejajar dengan tingkat
perubahan fisik. Perubahan yang terjadi pada masa remaja memang beragam, tetapi
ada lima perubahan yang terjdi pada remaja :
·
Emosi yang tinggi
·
Perubahan tubuh, minat dan peran yang
diharapkan oleh kelompok sosila menimbulkan masalah baru
·
Perubahan nilai-nilai sebagi konsekuensi
perubahan minat dan pola tingkah laku.
·
Bersikap ambivalen terhadap setiap
perubahan.
d. Masa
bermasalah
Meskipun
setiap periode memilki masalah sendiri, masalah masa remaja termasuk masalah
yang sulit diatasi, baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan.
e. Masa
pencarian identitas
Banyak
cara yang dilakukan oleh remaja untuk menunjukkan identitasnya, anatra lain
penggunaan simbol-simbol status dalam bnetuk kendaraan, pakain, dan pemilikan
barang-baramg lain yang mudah dilihat.
f. Masa
munculnya ketakutan
Kehidupan
pada masa remaja muda cenderung tidak simpatik dan takut bertanggungjawab.
g. Masa
yang tidak realistik
Pandangan
subjektif cenderung mewarnai remaja. Mereka mamandang diri sendiri dan orang
lain berdasarkan keinginannya, dan bukan berdasar kenyataan yang sebenarnya,
apalagi dalam cita-cita. Tidak hanya berakibat bagi dirinya sendiri, bahkan
bagi keluaraga dan teman-temanya, cita-cita yang tidak realistik ini berakibat
pada tingginya emosi yang merupakan ciri awal masa remaja. Semakin tidak
realistik cita-citanya, semakin tinggi kemarahannya. Bila orang lain
mengecewakannya atau kalau dia tidak berhasil mancapai tujuan yang
ditetapkannya dia akan sakit dan kecewa.
h. Masa
menuju masa remaja
Saat
usia kematangan kian dekat, para remaja merasa gelisah untuk meniggalkan
streotipe usia belasan tahun yang indah di satu sisi, dan harus bersiap-siap
menuju usia dewasa di sisi lainnya. Kegelisahan itu timbul akibat kebimbangan
tentang bagaimana meninggalkan masa remaja dan bagaimana pula memasuki masa
deawasa.
Semua
individu, dalam rentang kehidupannya, memiliki tugas dan peran tersendiri.
Begitu juga dengan masa remaja mempunyai tugas perkembangan yang tidak dapat
terlewatkan. Semua tugas perkembangan pada masa remaja dipusatkan pada penanggulangan
sikap dan perilaku yang kekanak-kanakan dan mengadakan persiapan untuk
menghadapi masa dewasa, tugas perkembangan pada masa dewasa menuntut perubahan
besar dalam sikap dan pola perilaku anak, akibatnya, hanya sedikit anak
lak-laki yang mampu dan hanya anak perempuanlah yang dapat diharapkan untuk
menguasai tugas-tugas tersebut selama awal masa remaja, apa lagi mereka yang
matangnya terlambat.
Masa
remaja adalah sebagai masa yang mempunyai minat dan keinginan yang sanagt
tinggi terhdap sesuatu. Baik minat akan pakain, kendaraan, akan perhatian, dan
lain sebagainya. Apabila minat dan keinginan tersebut tidak terpenuhi, maka
akan terjadi perlawanan dari dirirnya sebagai bentuk pelampiasan dari tidak
terpenuhi minat dan keinginan tersebut.
C.
Perkembangan Sosial Remaja
Perkembangan sosial pada masa
remaja merupakan puncak dari perkembangan sosial dari fase-fase perkembangan.
Bahkan, terkadang, perkembangan sosial remaja lebih mementingkan kehidupan
sosialnya di luar dari pada ikatan sosialnya dalam keluarga. Perkembangan
sosial remaja pada fase ini merupakan titik balik pusat perhatian. Lingkungan
sosialnya sebagai perhatian utama.
Suatu penelitian longitudinal yang dilakukan oleh
Bronson, menyimpulkan adanya tiga pola orientasi sosial remaja, yaitu: (http://www.psychologymania.com).
1. Withdrawal
vs. Expansive
Anak yang tergolong withdrawal adalah
anak yang mempunyai kecenderungan menarik diri dalam kehidupan sosial, sehingga
dia lebih senang hidup menyendiri. Sebaliknya anak expansive suka
menjelajah, mudah ergaul dengan orang lain sehingga pergaulannya luas.
2. Reaxtive vs aplacidity
Anak yang reactive pada umumnya memiliki
kepekaan sosial yang tinggi sehingg mereka banyak kegiatan, sedangkan anak
yang aplacidity mempunyai sifat acuh tak acuh bahkan tak
peduli terhadap kegiatan sosial. Akibatnya mereka terisolir dalam pergaulan
sosial.
3. Passivity
vs Dominant
Anak yang berorientasi passivity sebenarnya
banyak mengikuti kegiatan sosial namun mereka cukup puas sebagai anggota
kelompok saja, sebaliknya anak yang dominant mempunyai
kecenderungan menguasai dan mempengaruhi teman-temannya sehingga memiliki
motivasi yang tinggi untuk menjadi pemimpin.
D.
Faktor
Penyebab Terjadinya Tauran Antar Pelajar Sekolah
Menurut Wilnes dalam bukunya Punishment and Reformation
sebab-sebab perilaku menyimpang dibagi menjadi dua, yaitu faktor subjektif dan
objektif. Faktor subjektif adalah faktor yang berasal dari
seseorang itu sendiri (sifat pembawaan yang dibawa sejak lahir). Sedangkan
faktor objektif adalah faktor yang berasal dari
luar (lingkungan). Misalnya
keadaan rumah tangga, seperti hubungan antara orang tua dan anak yang tidak serasi (Risfaisal http://sosbud.kompasiana.com).
Meneurut Sander
Diki Zulkarnaen dalam Mulyana (2011) dalam pandangan psikologi, setiap
perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam diri individu
(sering disebut kepribadian, walau tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal.
Begitu pula dalam hal perkelahian pelajar. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya
4 faktor psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian pelajar.
1.
Faktor internal
Remaja
yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi
lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman
pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang
makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan
pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang
mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan
dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah,
menyalahkan orang / pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan
cara tersingkat untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi,
ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi
yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan
rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan.
2. Faktor keluarga
Rumah
tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas
berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan
adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan
kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika
remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani
mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya,
ia akan menyerahkan dirnya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian
dari identitas yang dibangunnya.
3. Faktor sekolah
Sekolah
pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya
menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas
pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya
untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak
relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan
menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama
teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas
memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan sebagai
penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya
juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam “mendidik”
siswanya.
4. Faktor lingkungan
Lingkungan
di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak
terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan
kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu
pula sarana transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga
lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat
merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi
emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi.
E.
Analisis Tawuran Antar Pelajar Sekolah Menurur Teori
Sosiologi
Tauran antar pelajar sekolah
merupakan salah satu masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat Indonesia.
Masalah sosial ini merupakan fenomena sosial yang sudah dianggap lumrah oleh
beberapa kalangan masyarakat di Indonesia. Bahkan ada pendapat yang menganggap bahwa
tawuran merupakan salah satu kegiatan rutin dari pelajar yang menginjak usia
remaja. Realita tawuran antar pelajar sering terjadi di kota-kota besar yang
seharusnya memiliki masyarakat dengan peradaban yang lebih maju.
Kerugian yang disebabkan oleh tawuran
tidak hanya menimpa korban dari tawuran saja, tetapi juga mengakibatkan
kerusakan di tempat mereka melakukan aksi tersebut. Akibatnya masyarakat
menjadi resah terhadap ulah pelajar remaja. Keresahan tersebut akan menimbulkan
rasa tidak percaya terhadap generasi muda yang seharusnya menjadi agen
perubahan bangsa. Ada pula anggapan yang menyatakan bahwa
prosedur pendidikan di Indonesia juga berpengaruh terhadap konflik yang marak
terjadi di Indonesia. Pendidikan di Indonesia cenderung memaksakan seorang
pelajar untuk berpikir sesuai dengan kurikulum yang dibuat oleh pemerintah.
Kurikulum tersebut cenderung mengeksploitasi kemampuan berpikir dari pelajar.
Akibatnya para pelajar merasa dipenjara oleh fakta sosial pendidikan yang ada
sehingga ingin melakukan hal yang menurut mereka di luar dari fakta sosial
tersebut dan bersifat deviance.
Pendidikan
sebenarnya hanyalah sekumpulan konsep dari rumus, teori, ujian, dan tidak lebih
dari itu. Hal tersebut tidak dapat ditawar oleh pelajar dan akhirnya menciptakan
kondisi yang mereka anggap sama diantara pelajar tersebut. Kemudian muncul
ikatan kelompok yang cukup kuat seperti gank-gank ataupun sejenisnya, sehingga
mendorong sikap altruistik di kalangan pelajar. Sikap altruistik menunjukkan
ikatan yang terlalu kuat dengan kehidupan kolektif remaja tersebut. Wajib
belajar 12 tahun telah berhasil mewujudkan sikap kolektivitas di kalangan
remaja. Kolektivitas inilah yang pada akhirnya menjadikan sikap altruisme di
kalangan remaja dan membentuk kelompok-kelompok. Pada kelompok-kelompok ini
tawuran bisa terjadi oleh faktor spontanitas kolektif untuk membela ikatan
mereka ataupun paksaan dikarenakan seorang pelajar dianggap sebagai pengecut
oleh rekan-rekannya dalam lingkungan tersebut. Tidak jarang anggota kelompok
yang lainnya memancing tawuran dengan alasan membalaskan dendam anggota
kelompoknya.
Di sisi bersamaan,
dalam melakukan tawuran biasanya para pelaku tawuran membutuhkan perlengkapan
ataupun fasilitas yang lainnya. Tidak jarang mereka membajak angkutan umum untuk
mobilitas mereka ke tempat mereka akan melakukan tawuran (http://musangiseng.blogspot.com/2009/12/analisis-tawuran-pelajar-di-indonesia.html).
Berikut analisis terjadinya tauran
berdasarkan teori – teori sosiologi dan ahlinya :
a. Emile
Durkheim
Menurut seorang sosiolog, Emille
Durkheim, tindakan para pelajar dalam tawuran merupakan perilaku menyimpang
atau deviance. Faktor penyebab deviance sendiri beraneka ragam sehingga
diperlukan analisis dengan perspektif sosiologi konflik untuk menemukan upaya
rekonsiliasi yang mampu mengamodasi permasalahan tersebut.
Menurut teori Struktural-Fungsional
(Durkheim) tauran antar pelajar terjadi karena struktur dalam sekolah atau
pendidikan yang salah. Karena tauran terjadi salah satu faktornya nilai yang
sudah ada dalam kelompok pelajar sekolah yang di turunkan dari satu generasi
terhadap generasi berikutnya atau senior ke junior.
Masing-masing kubu yang berseteru di
dalam tawuran dapat disebut sebagai kelompok karena menurut pandangan
Durkheim, Bierstedt, dan Parson, telah memenuhi kriteria sebuah kelompok yakni
memiliki interaksi antar anggota yang intensif dan adanya kesadaran kolektif
bahwa mereka merupakan bagian dari kelompok tersebut. Studi kasusnya, anggaplah
kelompok yang bertawuran diberikan kode kelompok A dan kelompok B.
Kelompok A dan B ini pastinya sering berkumpul dan bertemu sehingga secara
tidak langsung interaksi antar anggota kelompok terjalin secara intensif
sehingga mampu menimbulkan kohesivitas yang tinggi antar anggota kelompok. Maka
jika terjadi hal yang merugikan salah satu anggota kelompok di karenakan
kelompok pelajar sekolah lain, akan ada dorongan untuk melawan atau melakukan
balas dendam terhadap pelajar sekolah tersebut.
Dalam menganalisa sumber konflik,
perlu diidentifikasi penyebab tersebut berdasarkan dimensi-dimensinya. Pertama
dimensi struktural yang berkaitan dengan kebijakan dan pengambilan keputusan
yang dianggap kurang tepat. Misalnya kebijakan Ujian Nasional yang ditetapkan
pemerintah turut serta dalam perwujudan konflik antar pelajar. Hal ini
disebabkan karena para pelajar merasa terkekang dalam sebuah kebijakan yang
menurut mereka telah mengeksploitasi waktu serta pikiran mereka. Walhasil,
mereka akan melakukan upaya untuk terbebas dari aturan-aturan tersebut dengan
melampiaskannya dalam konfrontasi fisik.
Dimensi yang kedua adalah dimensi
kultural. Dilihat dari dimensi ini, konflik antar pelajar remaja telah menjadi
gaya hidup dari remaja itu sendiri. Hal ini menciptakan suatu nilai dalam
remaja bahwa yang tidak ikut dalam tawuran adalah remaja yang pengecut. Atas
dasar inilah, para remaja menjadi bersikap militan terhadap kelompoknya
sekalipun mereka tidak mengetahui sebab konflik itu terjadi.
Dimensi yang ketiga adalah dimensi
perilaku. Hal ini berkaitan erat dengan aspek psikologis dari para pelajar
remaja di Indonesia. Konflik sosial psikologis berkaitan dengan persoalan salah
persepsi, sikap yang negatif, bahkan hingga ke persoalan identitas kelompok dan
daerah. Identitas kelompok yang mengeras dan ekslusif menimbulkan jarak dengan
kelompok lain, dan amat mudah bergesekkan dan menimbulkan konflik.
b. Max Weber
Tauran dapat kita analisis
berdasarkan teori tindakan sosial Weber. Tauran terjadi karena dorongan atau
pengaruh pihak maupun kelompok pelajar sekolah lain. Tauran merupakan sebuah
tindakan sosial yang di laksanakan pelajar antar sekolah. Tindakan sosial
adalah “ tindakan manusia yang dapat
mempengaruhi individu-individu lainnya dalam masyarakat serta mempunyai maksud tertentu, suatu tindakan sosial adalah tindakan
yang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain dan berorientasi
pada perilaku orang lain”.
Peristiwa tawuran
antar pelajar SMA
Negeri 6 dan SMA Negeri 70.
Peristiwa tawuran antar-pelajar dua sekolah tersebut, Senin (24/9/2012), telah merenggut
nyawa seorang siswa SMA
Negeri 6. Alawy
Yusianto Putra (15), siswa kelas X SMA Negeri 6, tewas
setelah terkena sabetan celurit dari siswa
SMA Negeri 70. Saat itu,
Alawy dan teman-temannya tengah berkumpul seusai sekolah dan mendadak diserang
oleh segerombolan siswa SMA Negeri 70 yang membawa senjata tajam (Kompas.com, edisi Rabu, 26 September 2012).
Peristiwa diatas terjadi karena adanya
tujuan tertentu yang ingin dicapai kelompok pelajar dari SMA Negeri 70 Jakarta
dan tujuan tersebut berkaitan dengan tindakan kelompok pelajar dari sekolah SMA
Negeri Jakarta. Faktor penyebabnya bisa
beragam, seperti caci maki, senggol – senggolan, masalah pacaran, ingin
menujnukkan kekuatan masing – masing kelompok pelajar sekolah, sosialisasi yang
tidak sempurnah baik dalam keluarga, sekolah maupun lingkungan sepermainan atau
genknya.
c. Talcot Parson
Teori Fungsionalisme Struktural Talcot Parson ini bisa menganalisis bagaimana tauran antar pelajar
sekolah dapat terjadi. Pandangannya
tentang tindakan manusia itu bersifat voluntaristik, artinya karena tindakan itu didasarkan pada dorongan kemauan, dengan
mengindahkan nilai, ide dan norma yang disepakati. Tindakan individu manusia memiliki kebebasan
untuk memilih sarana (alat) dan tujuan yang akan dicapai itu dipengaruhi oleh lingkungan atau kondisi-kondisi, dan apa yang dipilih tersebut dikendalikan oleh nilai dan norma. Tindakan individu manusia itu juga ditentukan oleh orientasi subjektifnya,
yaitu berupa orientasi motivasional dan orientasi nilai.
Para remaja yang terlibat tauran
atau perkelahian berada dalam sebuah organisasi atu genk. Disini terdapat
aturan atau norma, kebiasan serta nilai yang di pegang dan di ikuti anggota kelompok
atau genk pelajar tersebut termasuk berkelahi. Sebagai anggota tumbuh kebanggan
apabila dapat melakukan apa yang diharapkan oleh kelompoknya. Jadi jika salah
satu anggota kelompok di ganggu kelompok lain baik dari dalam sekolah maupun
sekolah lain akan terjadi perlawanan semua anggota kelompok yang sangat cepat
terhadap kelompok yang menggangu. Hal karena semua fungsi nilai, norma yang ada
dalam struktur kelompok tersebut berjalan dengan baik.
d. Karl Marx
Tauran antar pelajar sekolah
merupakan sebuah konflik dan masalah sosial yang dapat kita analisi berdasarkan
teori konflik kelas Marx. Setiap sekolah pasti ingin menjadi sebuah sekolah
yang memiliki derajat yang paling tinggi di banding sekolah lain. Genk atau
kelompok yang terbentuk dalam sekolah tertentu akan memiliki perasaan dan
pandangan bahwa mereka lebih baik dan ingin mengusasi kelompok pelajar sekolah
lain.
Sementara bagi kelompok pelajar dari
sekolah tertentu yang memiliki derajat lebih rendah, akan berusaha menunjukkan
kemampuannya untuk mengakahkan sekolah yang dianggap mengusai mereka. Jika
terjadi suatu konflik baik bersifat makro atau mikro diantara kelompok pelajar
kedua sekolah tersebut, maka akan terjadi tauran antar kedua kelompok pelajar
tersebut. Hal ini dikarenakan situasi kelompok yang di kuasai sudah tidak
sanggup untuk diredam. Faktor yang sepele pun bisa menjadi alasan untuk
melakukan tauran, seperti kecemburuan sosial diantara anggota kelompok sekolah
yang satu dengan yang lainnya.
e. Lewis
Coser
Konflik tawuran
yang terjadi bila hubungkan dengan teori Lewis Coser yaitu konflik
sebagai mekanisme perubahan sosial dan penyesuaian, dapat memberi peran positif
atau fungsi positif dalam masyarakat. Dengan kata lain tawuran yang terjadi
tidak hanya memberikan hal-hal negatif terhadap masyarakat, tetapi hal positif
dalam situasi tertentu dan kepada siapa positif itu di terima. Tipe konflik
dari konflik realitas sumber dari tawuran bisa dari asal usul, sesuatu yang
diunggulkan dari siswa, dengan mencemooh, kualitas sekolah. Konflik non
realistis sebab tawuran yaitu sumbernya dari ke tidak rasional, ideologis siswa
tawuran seperti masalah harga diri, dendam. Selanjutnya konflik eksternal
dengan adanya tawuran menciptakan dan mempererat identitas kelompok, meningkatkan
partisipasi anggota terhadap pengorganisasian kelompok, perhatian orang tua dan
guru dalam mendidik siswa - siswinya. Teori internal dengan memberikan koreksi
pada perilaku tawuran anggota kelompok.
Dengan
adanya tawuran konflik tersebut bisa diselesaikan dengan berbagai cara
yaitu dengan konsiliasi yaitu dari pihak tawuran di selesaikan di lembaga
tertentu sehingga memperoleh solusi atas masalahnya. Mediasi yaitu dengan
melalui jasa perantara yang bersikap netral sehingga perantara tersebut mempertemukan
dan mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa tersebut. Arbitrase yaitu
penyelesaian tawuran bisa melalui pihak ketiga dengan membuat
keputusan-keputusan berdasarkan ketentuan atau aturan yang telah di tetapkan.
Adjudication yaitu penyelesaian perkara di meja hijau. Atau dengan Stalemate
yaitu tawuran yang berhenti sendirinya. Dan dapat di cegah dengan
menumbuhkan rasa toleransi terhadap setiap orang dan pendidikan agama serta
moral terhadap siswa sekolah di usia dini hingga dewasa.
F. Dampak Tauran Antar Pelajar Sekolah
Berikut
ini beberapa dampak tauran antar pelajar sekolah :
·
Kerusakan sarana dan prasarana
·
Individu mengalami luka – luka bahkan
menelan korban jiwa
·
Kebencian yang mendarah dangin antar
pelajar sekolah
·
Kualitas sekolah semakin buruk
·
Keresahan orang tua dan masyarakat
·
Merupakan aib bagi sekolah, guru, orang
tua serta masyarakat dll
G. Solusi Mencegah Tawuran Antar
Pelajar Sekolah
Agar tidak
terjadi tauran antar pelajar sekolah maka dapat dicegah melaui peran serta
semua pihak seperti berikut ini.
1.
Lingkungan keluarga
Orang
tua harus memperhatikan apa yang di tonton, dan dimainkan anak lewat game.
Perilaku mereka sangat dipengaruhi oleh model-model yang disajikan lewat media
masa berupa televisi, tindak kekerasan dan perkelahi akan cepet ditiru oleh
remja. Dipengaruhi oleh agresifitas model dalam game yang mereka
mainkan. Oleh karena itu orang tua harus mampu membatasi remaja dalam menonton
TV yang menontonkan kekersan atau memainkan game yang dapat menigkatkan
agresifitas mereka. Orang tua harus menjadai model yang baik bagi
anak-anaknya. Perilaku dari orang tua harus bisa ditiru dan dicontoh oleh
anak-anaknya, sehingga dia punya model yang baik dalam hidupnya berupa ayah dan
ibunya. Dari segi identitas diri, orang tua harus bisa memahami keinginan
remaja. Mereka tidak bisa dikekang sekehendak orang tua, tetapi harus diarahkan
dengan bimbingan dari orang tua agar tidak timbul kekacauan identitas yang
dilmpiaskan dengan kenakalan berupa tawuran.
2. Lingkungan sekolah
Untuk
mecegah tawuran anatar pelaja, sekolah harus mampu megakomodasi bakat-bakat dan
keahlian yang dimilki oleh anak didik. Menyediakan kegiatan ekstra kulikuler
yang bermanfaat bagi anak didiknya. Tidak ada waktu yang terbuang percuma,
hanya untuk tawuran. Fasilitas dan sarana yang mendukung untuk menciptakan dan
menyalurkan bakat-bakat anak didik harus disediakan dengan memadai, sehingga
perilaku mereka dapat tersalurkan ke hal-hal yang positif.
Di
sekolah juga, guru harus menjadi model dan contoh yang baik bagi peserta
didiknya. Guru dan dewan sekolah harus menberikan perilaku yang baik bagi
peserta didiknya, sehingga peserta didik tidak mencari model di luar yang tidak
patut ditiru dalam perilakunya.
3. Memberikan
hukuman
Upaya
lainnya yang dapat dalkukan untuk mencegah tawuran adalah dengan memberikan
hukuman dan sanksi yang membuat efek jera terhadap perilaku tawuran. Para
penegak hukum harus tegas dalam memberikan hukuman dan sanksi terhdap perilaku
tawuran. Meskipun terkadang upaya ini tidak efektif, buktinya hukuman dan
sanksi ada tetapi tawuran masih terus meralajalela dikalangan pelajar.
Setidaknya penerapan hukuman dan sanksi yang tegas dapat mengurangi perilaku
tawuran dari pelajar.
Sedangkan
menurut Panuju dan Umami (1999:164) tindakan yang dapat dilkukan untuk
mengatasi kenakalan renmaja seperti tawuran adalah:
1.
Tindakan Preventif
Usaha pencegahan timbulnya
kenakalan remaja secara umum :
a. Mengenal
dan mengetahui ciri umum dan khas remaja
b.
Mengetahui kesulitan-kesulitan yang
secara umum dialami oleh para remaja. Kesulitan-kesulitan manakah yang biasanya
menjadi sebab timbulnya penyaluran dalam bentuk kenakalan
c. Usaha
pembinaan remaja:
·
Menguatkan sikap mental remaja supaya
mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapinya.
·
Memberikan pendidikan bukan hanya dalam
penambahan pengetahuan dan keterampilan melainkan pendidikan mental dan pribadi
melalui pengajaran agama, budi pekerti, dan etiket.
·
Menyediakan sarana-sarana dan meciptakan
suasana yang optimal demi perkembangan pribadi yang wajar.
·
Usaha memperbaiki keadaan lingkungan
sekitar, keadaan sosial keluarga maupun masyarakat di mana terjadi banyak
kenakalan remaja.
Usaha pencegahan kenakalan remaja
secara khusus
Dilakukan
oleh para pendidik terhadap kelainan tingkahlaku para remaja. Pendidikan mental
di sekolah dilakukan oleh guru, guru pembimbing, dan psikolog sekolah bersama
dengan para pendidik lainnya. Sarana pendidikan lainya mengambil peranan
penting dalam pembentukan pribadi yang wajar dengan mental yang sehat dan kuat.
Misalnya kepramukaan, dan yang lainnya. Usaha pendidik harus diarahkan terhadap
remaja dengan mengamati, memberikan perhatian khusus dan mengawasi setiap
penyimpangan tingkah laku remaja di rumah dan di sekolah.
2. Tindakan
Represif
Usaha
menindak pelanggaran norma-norma sosial dan moral dapat dilakukan dengan
mengadakan hukuman terhadap setiap perbuatan pelanggaran.
·
Rumah, remaja harus mentaati peraturan
dan tata cara yang berlaku. Disamping itu perlu adanya semacam hukuman yang
dibuat oleh orangtua terhadap pelanggaran tata tertib dan tata cara keluarga.
Pelaksanaan tata tertib harus dilakukan dengan konsisten. Setiap pelanggaran
yang sama harus dikenakan sanksi yang sama. Sedangkan hak dan kewajiban anggota
keluarga mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan dan umur.
·
Di sekolah, kepala sekolahlah yang
berwenang dalam pelaksanaan hukuman terhadap pelanggaran tata tertib sekolah.
Dalam beberapa hal guru juga berhak bertindak. Akan tetapi hukuman yang berat
seperti skorsing maupun pengeluaran dari sekolah merupakan wewenang kepala
sekolah. Guru dan staf pembimbing bertugas menyam-paikan data mengenai
pelanggaran dan kemungkinan-kemungkinan pelanggaran maupun akibatnya. Pada
umumnya tindakan represif diberikan diberikan dalam bentuk memberikan
peringatan secara lisan maupun tertulis kepada pelajar dan orang tua, melakukan
pengawasan khusus oleh kepala sekolah dan team guru atau pembimbing dan
melarang bersekolah untuk sementara atau seterusnya tergantung dari macam
pelanggaran tata tertib sekolah yang digariskan.
3. Tindakan
Kuratif dan Rehabilitasi
Dilakukan
setelah tindakan pencegahan lainnya dilaksanakan dan dianggap perlu mengubah
tingkahlaku si pelanggar remaja itu dengan memberikan pendidikan lagi.
Pendidikan diulangi melalui pembinaan secara khusus, hal mana sering
ditanggulangi oleh lembaga khusus maupun perorangan yang ahli dalam bidang ini.
Berikut
secara singkat hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya tauran antar
pelajar sekolah :
·
Membuat peraturan sekolah yang lebih tegas. Peraturan
itu harus membuat pelajar takut untuk melanggarnya dan yang penting peraturan
ya di buat harus benar-benar di terapkan.
·
Memberikan perhatian dan pengawasan dari pihak keluarga.
·
Member pendidikan anti tawuran, dan menjelaskan dampak
dari tawuran itu.
·
Sekolah mengadakan kalaborasi belajar antar sekolah
dan membuat kegiatan-kegiatan yang menarik serta bermanfaat tentunya.
·
Menerapakan ajaran agama.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tauran antar
pelajar sekolah merupakan salah satu masalah sosial yang terjadi dalam
masyarakat Indonesia. Masalah sosial ini merupakan fenomena sosial yang sudah
dianggap lumrah oleh beberapa kalangan masyarakat di Indonesia. Faktor penyebab tauran yaitu Faktor subjektif adalah faktor yang berasal dari
seseorang itu sendiri (sifat pembawaan yang dibawa sejak lahir). Sedangkan faktor
objektif adalah faktor yang berasal dari
luar (lingkungan). Sedangkan
secara psikologis faktor penyebabnya yaitu faktor internal, keluarga, sekolah
dan lingkungan.
Analis
tauran antara pelajar bisa melalui teri sosiologi Emile Durkheim, Karl Marx,
Talcot Parson dll. Cara pencegahannya yaitu dengan :
·
Membuat peraturan sekolah yang lebih tegas. Peraturan
itu harus membuat pelajar takut untuk melanggarnya dan yang penting peraturan
ya di buat harus benar-benar di terapkan.
·
Memberikan perhatian dan pengawasan dari pihak
keluarga.
·
Member pendidikan anti tawuran, dan menjelaskan dampak
dari tawuran itu.
·
Sekolah mengadakan kalaborasi belajar antar sekolah
dan membuat kegiatan-kegiatan yang menarik serta bermanfaat tentunya.
·
Menerapakan ajaran agama.
B.
Saran
atau Rekomendasi
Penulis
merekomendasikan kepada orang tua, sekolah, masyarakat agar memberikan
perhatian dan pengawsan yang ketat bagi remaja atau pelajar sekolah – sekolah
di indonesia. Agar tidak terjadi tauran antar pelajar lagi. Bakat yang dimiliki
anak di salurkan kepada hal – hal yang bersifat positif baik di sekolah dengan
peran guru, maupun dirumah dengan peran orang tua. Serta bagi pelajar Indonesia
janganlah melakukan tindakan yang merugikan diri sendiri dan orang lain, karena
itu dapat mencoreng identitas pelajar sebagai generasi penerus bangsa yang membawa
kemajuan, kemakmuran. Bagi pemerintah penegakan hukum yang lebih serius bagi
siapa pun termasuk pelajar.
DAFTAR PUSTAKA
http://ecep-mulyana.blogspot.com/2013/04/analisis-tawuran-antar-pelajar-sebagai.html.
diakses tanggal 27 - 02- 2014.
http://fitripitli.blogspot.com/2013/01/tawuran-pelajar.html. Diposkan
28th January 2013 oleh fitri amalia.
diakses tanggal 27 - 02- 2014.
http://sosiologiantropologiindonesia.blogspot.com/2013/10/analisis-fenomena-tawuran-antar-pelajar.html.
diakses tanggal 27 - 02- 2014.
http://musangiseng.blogspot.com/2009/12/analisis-tawuran-pelajar-di-indonesia.html.
diakses tanggal 27 - 02- 2014
http://sosbud.kompasiana.com/2011/09/24/tawuranisme-pelajar-tinjauan-sosiologis-398105.html.
diakses
tanggal 27 - 02- 2014
http : // Compas. Com.
kopas yaaa
BalasHapus